125369

KEBIJAKAN PAJAK E-COMMERCE

125369

Oleh :

Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Udayana

BENTUK REALISASI PAJAK E-COMMERCE

     Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuka peluang bisnis baru salah satunya adalah e-commerce. Perdagangan elektronik (E-Commerce = Electronic Commerce) adalah bagian dari e-lifestyle yang memungkinan transaksi jual beli dilakukan secara online dari mana pun dan kapan pun. E-commerce juga dapat diartikan sebagai suatu proses berbisnis dengan menggunakan teknologi elektronik yang menghubungkan antara perusahaan, konsumen, dan masyarakat dalam bentuk pertukaran atau penjualan barang, jasa, serta informasi secara elektronik. [1]  E-commerce berdasarkan surat edaran Direktur Jendral Pajak Nomor: SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi E-Commerce didefinisikan sebagai  perdagangan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen melalui sistem elektronik. [2]  Perkembangan bisnis e-commerce di Indonesia sangat melesat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir., dimana saat ini e-commerce menunjukkan pertumbuhan yang baik sejak tahun 2018. Bahkan, terjadi transaksi yang besar hingga mencapai nilai US$27 miliar yang berhasil diputar. Diperkirakan industri e-commerce pada tahun 2019 sangat menjanjikan untuk ditekuni, bahkan beberapa e-commerce saat ini mampu berakselerasi yang jauh karena menerima suntikan dana yang besar dari investor papan atas.[3]

     Namun kini para pelaku usaha yang melakukan usahanya secara online akan terikat oleh pajak bagi para pelaku usaha e-commerce. Pada 1 April 2019 yang akan datang pemerintah akan  meresmikan peraturan yang mengatur mengenai pemberlakuan pajak bagi usaha online. Dikeluarkannya aturan tersebut menyebabkan munculnya berbagai asumsi dari masyarakat. Mulai dari masyarakat yang berlatar belakang sebagai pelaku usaha online maupun pelaku usaha konvensional. Mereka yang berlatar belakang sebagai pelaku usaha konvensional beranggapan bahwa kebijakan pemerintah tersebut merupakan suatu bentuk perlakuan yang adil antara pelaku usaha konvensional dengan pelaku usaha online, tetapi masyarakat yang berlatar belakang sebagai pelaku usaha online merasa diberatkan akan kebijakan tersebut.

BENTUK REALISASI PAJAK E-COMMERCE

     Penerapan pajak e-commerce per 1 April 2019 banyak menarik perhatian dari masyarakat luas mengingat di era modern ini transaksi online sedang hangat-hangatnya di perbincangkan. Mayoritas pengguna e-commerce di Indonesia  didominasi oleh masyarakat usia produktif  yaitu rata – rata berusia antara 16 – 65 tahun. Hal tersebut menandakan bahwa pasar dari e-commerce ini adalah masyarakat produktif, dimana hal tersebut akan mendorong pola hidup yang konsumtif, sehingga mereka akan  cenderung  melakukan kegiatan transaksi online yang semakin besar setiap tahunnya. Karena hal tersebut, pemerintah berniat mengenakan pajak e-commerce demi menyetarakan perlakuan bisnis antara ritel konvensional dan ritel digital (the same level playing field). Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyatakan, pemerintah saat ini tengah kelimpungan mengingat e-commerce muncul dalam bentuk yang berbeda-beda. Ada dua bentuk perdagangan online yang berbeda  yaitu melalui  platform marketplace dan yang melalui media sosial. Potensi pajak dari platform e-commerce memang cukup besar, dan transaksi belanja media sosial juga tidak kalah besar, hanya saja pemerintah kesulitan mendata arus perdagangan melalui media sosial.[4]

     Banyaknya e-commerce yang sedang berkembang di Indonesia menjadi salah satu sumber penerimaan pajak yang cukup besar, maka dari itu Direktorat Jendral Pajak memberlakukan surat edaran Direktorat Jendral Pajak nomor SE-62/PJ/2013 tentang penegasan ketentuan perpajakan atas transaksi e-commerce sebagai kebijakan untuk mengoptimalkan penerimaan negara atas Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap transaksi e-commerce.[5] Aturan ini tentunya akan memberikan dampak baik positif maupun negatif. Dari segi dampak positifnya aturan penerapan pajak terhadap transaksi e-commerce yaitu menjaga perlakuan  pajak yang setara antara e-commerce dengan pelaku usaha konvensional dan memudahkan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha e-commerce. Kedua dampak positif tersebut tentunya akan memberikan kontribusi pada kesadaran akan tanggung jawab perpajakan yang akan berujung pada adanya peningkatan pendapatan dari pajak. Selain dampak positif tentunya ada dampak negatif yang menyertai diterapkannya aturan perpajakan terhadap transaksi e-commerce, yang pertama adanya kemungkinan para pelaku usaha yang awalnya bergabung dengan marketplace beralih usaha melalui media sosial. Dampak yang kedua yaitu keterlibatan marketplace dalam mekanisme perpajakan, dimana marketplace berperan sebagai agen penyetor pajak. Tugas negara ini dikhawatirkan akan membebani marketplace, karena di Indonesia marketplace ada yang sudah besar dan ada yang masih kecil, dan untuk menjadi agen penyetor tentunya akan menambah pekerjaan operasional marketplace tersebut.

     Mekanisme perpajakan yang akan diterapkan mengandalkan marketplace untuk mengkoordinir pelaku usaha yang bernaung di bawah marketplace tersebut. Pelaku usaha yang menjajakan barang atau jasanya di marketplace, diminta untuk memberitahukan NPWP kepada penyedia marketplace. Bagi para pelaku usaha yang belum memiliki NPWP, maka dapat segera mengurus kepemilikannya atau melaporkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada platform marketplace yang bersangkutan. Pelaku usaha juga harus melaksanakan kewajibannya terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku seperti membayar pajak final  dengan tarif 0.5 % dari omzet. Serta bagi pelaku usaha yang memperoleh omzet  Rp 4,8 miliar setahun, harus ditetapkan  sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan melaksanakan kewajiban PPN sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Sama halnya dengan pelaku usaha, marketplace juga harus memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP. Kemudian, marketplace juga diminta untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penyediaan platform kepada pelaku usaha dan terhadap penjualan barang dagangan milik marketplace itu sendiri. Terakhir, marketplace juga bertanggung jawab untuk melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan pelaku usaha pengguna platform. Bagi pelaku usaha online lain yang membuka lapaknya di luar marketplace, wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara umum.[6]

     Besaran dari pengenaan pajak e-commerce ini  masih belum jelas dan pasti. Namun, Dirjen Pajak sendiri mengaku telah mengusulkan agar besaran pajak yang akan ditetapkan untuk e-commerce nantinya sesuai dengan aturan pajak yang berlaku di Indonesia baik PPh ataupun PPN yang sudah ada. Usaha yang sudah dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini tentu sifatnya masih relatif, karena keputusan dan kebijakannya ada di Kementerian Keuangan. Namun, usaha yang hampir menemukan titik terang adalah bahwa ketentuan pajak e-commerce ini akan menggiring pada wacana yang menyatakan tidak akan ada perbedaan antara bisnis e-commerce dan non-commerce.[7]

PANDANGAN PEMERINTAH MENGENAI E-COMMERCE

    Pelaku dalam transaksi konvensional selama ini telah memberlakukan peraturan perpajakan. Kegiatan ekonomi dalam e-commerce inilah yang belum terekam pemerintah. Untuk itu, Kementerian Keuangan bekerja sama dengan beberapa kementerian lainnya kini tengah merumuskan regulasi pajak e-commerce yang nantinya akan berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Filosofi penerapan aturan pajak e-commerce ini yakni agar pelaku perdagangan baik konvensional maupun elektronik mampu memahami kewajiban perpajakannya. Ditambah lagi, Indonesia masih belum memiliki aturan jelas yang mengatur bisnis e-commerce asing. Sehingga banyak pelaku e-commerce asing yang masih belum tersentuh pajak formulasi peraturan mengenai e-commerce di Indonesia. Pada 11 November 2016, pemerintah meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi XIV tentang Peta Jalan (Roadmap) e-commerce di Indonesia. Paket kebijakan ini diinisiasi karena belum ada peta jalan e-commerce nasional yang akan mendorong tumbuh kembangnya e-commerce di Indonesia.[8]

     Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).[9]  Sehingga hal tersebut dapat memberikan kepastian hukum atas bisnis e-commerce yang mulai subur di Indonesia. Serta dengan demikian sudah dapat dengan jelas dinyatakan bahwa pemberlakuan pajak pada e-commerce didasarkan atas revisi Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Kemudian ketentuan pengenaan pajak ini pun terbit, yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

PANDANGAN MASYARAKAT MENGENAI PENERAPAN PAJAK E-COMMERCE

     Adanya inovasi melakukan transaksi berjualan dengan menggunakan media internet, masyarakat menjadi lebih kreatif dan lebih memiliki inovasi dalam membangun dan mengembangkan usahanya. Saat ini, belanja online telah menjadi gaya hidup dari masyarakat itu sendiri. Semakin majunya terknologi, akan mendorong masyarakat untuk hidup dengan berbagai kemudahan. Tidak sedikit dari masyarakat itu juga berasumsi bahwa pemerintah perlu memperbarui kebijakan pemberlakuan pajak e-commerce tersebut. Hal ini dikarenakan peraturan tersebut tidak menjangkau bagi semua pelaku usaha online, peraturan tersebut hanya mengikat bagi pelaku usaha online yang berdagang di situs e-commerce. Di Indonesia, mayoritas transaksi merupakan e-commerce nonformal yang melalui media social seperti Instagram, WhatsApp, BBM dan sejenisnya. Jika terdapat pengenaan pajak pada e-commerce maka pelaku usaha di dalam Platform e-commerce akan memilih menjual produknya di media sosial karena peraturan pengenaan pajak kepada para pelaku usaha yang menggunakan sosial media belum di keluarkan. Pelaku usaha akan meninggalkan situs lokal yang menerima imbas dari peraturan pemerintah seperti Bukalapak, Kaskus FJB, Tokopedia, OLX dan lain sebagainya. Masyarakat akan bergeser memanfaatkan situs luar yang tidak terimbas yaitu media sosial atau e-commerce luar negeri seperti eBay, Amazon dan situs lain yang sejenis.

KESIMPULAN

     Seperti yang sudah dijabarkan di atas, Indonesia saat ini tengah dikejutkan dengan kebijakan pengenaan pajak kepada pelaku perdagangan elektronik atau e-commerce yang merupakan bagian dari e-lifestyle yang memungkinan transaksi jual beli dilakukan secara online dari mana pun dan kapanpun. Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Beberapa poin penting yang masuk dalam revisi UU PPh adalah pajak e-commerce dalam aturan yang lebih rinci dan penetapan tarif PPh baru. Sehingga hal tersebut dapat memberikan kepastikan hukum atas bisnis e-commerce yang mulai subur di Indonesia. Selain itu keputusan pengenaan pajak terhadap pelaku e-commerce ini juga dilandasi oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Aturan ini memiliki dua pertimbangan yaitu menjaga perlakuan  pajak yang setara antara e-commerce dan pelaku usaha konvensional serta memudahkan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha e-commerce di Indonesia mengingat perkembangan bisnis ini cukup pesat dan memiliki banyak peminat khususnya di kalangan masyarakat produktif.  Maka dari itu kami Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana merekomendasikan saran dalam menanggapi kebijakan pengenaan pajak kepada e-commerce per 1 April 2019 berupa pengambilan sikap:

  1. Pemerintah selaku pemegang keputusan tertinggi di Indonesia sebaiknya mempertimbangkan lagi  nominal pengenaan pajak terhadap e-commerce, agar  nantinya kebijakan pengenaan pajak terhadap pelaku e-commerce ini tidak terlalu memberatkan mereka yang menjalankan bisnisnya di bidang ini dan tidak mengganggu jalannya usaha mereka. Selain itu Pemerintah hendaknya melakukan koordinasi yang baik  dengan Kementrian, Lembaga maupun platform e-commerce itu sendiri agar nantinya mereka yang berjualan di platform e-commerce Indonesia tidak berpindah ke flatform e-commerce luar negeri yang nantinya akan menimbulkan kerugian untuk Indonesia.
  2. Masyarakat selaku pelaku dan konsumen memahami kebijakan tersebut karena kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sudah melewati beberapa tahapan dan pertimbangan. Selain itu masyarakat sebagai distributor yang memiliki usaha pada marketplacemaupun media sosial hendaknya melaporkan NPWP kepada penyedia marketplace. Jika belum memiliki NPWP, maka dapat segera mengurus kepemilikannya atau melaporkan NIK kepada platform marketplace, serta bagi pelaku usaha online lain yang membuka lapaknya di luar marketplace wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara umum.
  3. Mahasiswa sebagai generasi penerus dan pelurus bangsa hendaknya peka dan peduli  terhadap berbagai isu yang yang berlangsung saat ini. Mahasiswa sebagai orang yang berpendidikan juga bisa ikut turut andil dengan memberikan berbagai macam solusi  yang nantinya mungkin dapat dipertimbangkan sebagai penyelesaian masalah tesebut. Selain itu mahasiswa sebagai seorang  yang memiliki pengetahuan lebih dapat juga mengedukasi masyarakat luas.

Untuk Mendownload Kajian bisa klik link di bawah ini:

KAJIAN KEBIJAKAN PAJAK E-COMMERCE

Sumber Referensi:

[1] Muchlisin Rjadi, 2013 Perdagangan Elektronik,  (Terdapat pada.https://www.kajianpustaka.com/2013/04/perdagangan-elektronik-e-commerce.html  diakses  pada tanggal  2 Februari 2019)

[2] Kementrian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak, Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No : 62/PJ/2013 Tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas E-commerce . (Terdapat pada https://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15470 diakses pada tanggal 23 Februari 2019)

[3] Aldo Fenalosa, 2019, 5 Gambaran Industri E-commerce Indonesia di Tahun 2019 (terdapat pada https://iprice.co.id/trend/insights/gambaran-industri-e-commerce-indonesia-di-tahun-2019/ diakses pada 25 Februari 2019)

[4] Galih Gumelar, 2017, Berguru dari Negara Lain Demi Tarik Pajak e-commerce (terdapat pda https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171129101646-532-258860/berguru-dari-negara-lain-demi-tarik-pajak-e-commerce diakses  pada tanggal 6 Februari 2019)

[5] Ririn Puspita Sari, 2018, Kebijakan  perpajakan atas transaksi e-commerce, Samarinda Kalimantan Timur,  hlm.67 diakses pada tanggal 24 Februari 2019.

[6] Hendra Kusuma, 2019, Sri Mulyani Tarik Pajak e- commerce, Ini Rincian Aturannya, (terdapat pada https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4381502/sri-mulyani-tarik-pajak-e-commerce-ini-rincian-aturannya diakses pada tanggal 6 Februari 2019)

[7] Asep Irwan,2019, Pajak E-Commerce Indonesia, Apa Dan Bagimana Akan Diterapkan?, (terdapat pada https://www.maxmanroe.com/pajak-e-commerce-indonesia-apa-dan-bagimana-akan-diterapkan.html   diakses pada tanggal 6 Februari 2019)

[8] Pradany Hayyu, “MEDIA KEUANGAN, Vol. XIII/No.125/Maret 2018”, hal 17&27, (Terdapat pada  https://www.kemenkeu.go.id/media/7242/media-keuangan-maret-2018-2.pdf, diakses pada tanggal 7 Februari 2019, pukul 15.30)

[9] Dian Puspa, “Pajak e-Commerce Masuk Dalam Revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan”, (Terdapat pada  https://www.online-pajak.com/pajak-e-commerce-masuk-dalam-revisi-undang-undang-pajak-penghasilandiaksespada tanggal 7 Februari 2019, pukul 16.00)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *