kajian

Gunung Es Perkawinan Usia Anak di Indonesia

Oleh:

Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Udayana

Yang muda yang berkarya,

Yang muda berkontribusi nyata.

Namun, bagaimana ada kontribusi,

Bila hak anak banyak dikorupsi.

Pendidikan tidak dipenuhi,

Tanggung jawab terus membebani.

 

Katanya anak penerus masa depan bangsa,

Nyatanya anak masih sebagai pemenuh keinginan yang tua semata.

Berhenti mendiktenya akan masa depan,

Mulailah penuhi akan pendidikan.

 

Jangan karena dalih ekonomi,

Anak dipaksa menikah dini.

Pernikahan dini bukan cintanya yang terlarang,

Tetapi dampaknya yang membawa bumerang.

Pernikahan itu komitmen yang sakral,

Bukan alat melegalkan hubungan seksual.

Jangan jadikan dalih menghindari zina,

Sebagai senjata yang membunuh cita – cita mereka.

 

Mulai saat ini dewasalah dalam mendidik generasi muda titipan tuhan,

Karena kelak merekalah yang menjadi sandaran masa depan.

PENDAHULUAN

Kemiskinan seakan masih menjadi bagian dari cerita pilu bangsa Indonesia. Di antara megahnya proyek – proyek pembangunan yang ditujukan untuk menunjang pertumbuhan dan perbaikan ekonomi, permasalahan ekonomi berupa kemiskinan tetap terdengar dan tak terbendung suaranya. Tercatat jumlah penduduk miskin di Indonesia sampai bulan Maret 2018 menyentuh angka 26 juta jiwa.[1] Kemiskinan menyebabkan terjadinya banyak tindak kriminalitas di Indonesia yang pada akhirnya berdampak buruk tidak hanya bagi masyarakat itu sendiri tetapi juga bagi kelangsungan perekonomian. Banyak permasalahan yang diakibatkan karena adanya kemiskinan di Indonesia, salah satunya adalah perkawinan usia anak. Perkawinan usia anak tanpa adanya persiapan sering kali menjadi jalan yang dipilih untuk melepaskan tanggung jawab moral dan materi orang tua kepada anak. Namun, pernikahan yang dilakukan tanpa adanya persiapan yang matang hanya akan menimbulkan permasalahan baru. Hal ini menjadikan perkawinan usia anak sebagai rantai kemiskinan yang sukar untuk diputuskan. Perkawinan usia anak didefinisikan sebagai perkawinan dimana salah satu atau kedua belah pihak di dalamnya berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun. Sejatinya perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan batasan usia yang mengatur perkawinan diizinkan apabila pihak pria sudah mencapai 19 (Sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas tahun) .[2]

 Namun, terdapat perbedaan batasan usia anak berdasarkan peraturan perundang – undangan. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 pasal satu (1) ayat satu (1) tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.[3] Dalam undang – undang tersebut juga diatur bahwa orang tua diwajibkan mencegah terjadi perkawinan usia anak. Berdasarkan pemaparan tersebut terdapat ketidakselarasan dalam peraturan perundang – undangan. Inilah yang  menyebabkan tingginya ancaman perkawinan usia anak di Indonesia. Tingginya perkawinan usia anak di Indonesia bukan hanya bualan semata. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan Indonesia diperingkat ke – 7 di dunia pada tahun 2018 dan berada di peringkat kedua setelah Negara Kamboja dalam ruang lingkup asia tenggara. Hal ini bukanlah sebuah prestasi yang bisa untuk dibanggakan. Sebab hal inilah yang menunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam kondisi yang tidak baik – baik saja. Indonesia mengalami kondisi darurat perkawinan usia anak. Kondisi yang pada akhirnya mengungkung Indonesia tetap berada dalam rantai kemiskinan. Melihat kondisi Indonesia yang seperti ini maka, sudah seharusnya permasalahan mengenai perkawinan usia anak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Tidak hanya pemerintah tetapi mahasiswa dan masyarakat pada khususnya.

DARURAT PERKAWINAN USIA ANAK

Berdasarkan fakta – fakta yang diungkapkan sebelumnya, Indonesia sudah saatnya memandang perkawinan usia anak sebagai sebuah permasalahan yang darurat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Tahun 2017, sebaran angka perkawinan anak diatas 10% merata berada di seluruh provinsi di Indonesia sedangkan, sebaran angka perkawinan anak diatas 25% berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa 67% wilayah di Indonesia darurat perkawinan usia anak.[4]

Picture1

*) Data BPS 2017

Menjadi sebuah negara yang mengalami darurat perkawinan usia anak tentu akan berpengaruh terhadap kondisi sosial dan ekonomi negara tersebut. Perkawinan usia anak sendiri jelas berpengaruh terhadap diri sang anak tersebut. Dari sisi psikologis sang anak berpotensi mengalami trauma. Hal ini dikarenakan sang anak rentan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Fakta membuktikan bahwa sebanyak 44% anak perempuan yang melakukan perkawinan usia anak mengalami KDRT dengan tingkat frekuensi yang tinggi. Selain itu apabila sang anak mengalami perkawinan diakibatkan karena kehamilan yang tidak diinginkan, mereka cenderung akan mengurung diri karena diselimuti rasa malu dianggap aib bagi keluarga.

Perkawinan usia anak tidak hanya berpengaruh terhadap psikologis sang anak, tetapi juga berpengaruh terhadap kesehatan. Kesehatan reproduksi anak yang menikah pada usia dibawah 18 tahun rentan mengalami kekerasan seksual, resiko kanker serviks yang tinggi, dan penyakit kelamin lainnya yang dikarenakan belum sempurnanya perkembangan organ reproduksi. Sang anak tidak hanya mendapatkan pengaruh dari sisi psikologis dan kesehatan, tetapi juga dari sisi sosial dan ekonomi. Ditinjau dari sisi sosial, perkawinan usia anak berpotensi terjadinya perceraian dan perselingkuhan dikarenakan sang anak masih memiliki emosi yang masih belum bisa dikatakan stabil, sehingga mudah terjadi pertengkaran dalam hubungan rumah tangga mereka. Lalu, apabila ditinjau dari sisi ekonomi, perkawinan usia anak menimbulkan yang namanya sebuah siklus kemiskinan. Pada umumnya anak yang mengalami perkawinan belum memiliki pekerjaan yang layak dikarenakan mereka hanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Belum adanya pekerjaan sehingga mereka tidak dapat menghidupi keluarganya dengan baik dan harus tetap bergantung dengan orang tua, sehingga orang tua memiliki peran ganda selain menghidupi keluarga sendiri, mereka juga harus menghidupi keluarga orang lain. Kondisi ini akan terjadi secara turun-temurun dari generasi ke generasi sehingga terbentuk suatu siklus yang bernama ‘siklus kemiskinan’. Begitu banyak pengaruh yang didapatkan sang anak dari adanya perkawinan usia anak. Namun, perkawinan anak tetap banyak terjadi di Indonesia bahkan mengalami peningkatan setiap tahunnya.

PANDANGAN MASYARAKAT

Perkawinan di bawah umur akhir – akhir ini memang menjadi perhatian dunia, pada tahun 2016 bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang menunjukkan angka pernikahan anak di Indonesia masih tinggi, yaitu sekitar 23 persen untuk pernikahan pada usia di bawah 18 tahun.[5] Perkawinan anak seringkali terjadi karena dilatarbelakangi oleh kondisi kemiskinan, letak geografis yang sulit, pendidikan yang minim, dan kebijakan yang belum diatur secara jelas.[6] Di Indonesia, perkawinan anak memang masih marak terjadi, banyak faktor yang menjadi dalang tingginya angka perkawinan anak, dan salah satu faktor yang mendorong hal ini adalah pola pikir masyarakat terhadap perkawinan. Perkawinan anak di Indonesia kebanyakan terjadi di daerah yang masyarakatnya memegang teguh suatu kepercayaan yang sudah diyakini secara turun temurun. Kebiasaan masyarakat yang menikahkan anak perempuannya, dengan alasan jika sang anak sudah baligh, dianggap lebih aman dinikahkan daripada terjadi hal – hal yang tidak diinginkan, atau menggunakan dalih “menghindari zina”. Penggunaan dalil agama berupa ‘melegalkan’ kegiatan seksual demi menghindari zina dan menyempurnakan agama masih sering digunakan sebagai alasan untuk menikahkan anak dibawah umur, dan hal tersebut hingga saat ini masih dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat di berbagai daerah. Apabila ditelaah lebih dalam, menikah dalam agama ditujukan untuk menyempurnakan ibadah dengan membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah yang kemudian dilanjutkan dengan mempunyai keturunan yang dididik dengan penuh tanggung jawab agar menjadi keturunan yang bernilai. Namun, sulit untuk bisa mewujudkan pernikahan yang demikian apabila anak yang masih perlu dibina yang memilih untuk melakukan pernikahan. Menghindari zina bukan berarti bisa diselesaikan dengan menikahkan anak dibawah umur, pembinaan yang baik dari keluarga terutama orang tua tentunya sangat diperlukan untuk memberi arahan kepada anak.

Jika dilihat dari faktor budaya, perkawinan dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral ketika terjadi kehamilan di luar nikah, padahal kasus kehamilan di luar nikah pada usia anak seringkali terjadi karena kurangnya perhatian dan kepedulian orang tua terhadap anak. Tidak hanya hamil diluar nikah akibat dari pergaulan bebas anak, pernikahan anak yang dilakukan antara korban dan pelaku pemerkosaan yang tidak dikenal ataupun keluarga dekat dilakukan dengan dalih tanggung jawab dan penyelesaian masalah tersebut. Padahal pernikahan tidak mutlak memberikan jaminan bahwa tanggung jawab tersebut yang terbaik untuk anak. Budaya dan adat dalam kelompok masyarakat yang mengharuskan anak menikah dibawah umur agar anak tidak dicap ‘perawan atau perjaka tua’ juga turut menyumbang alasan menikahkan anak dibawah umur. Beberapa daerah di Indonesia seperti Kalimantan Selatan yang menduduki peringkat tertinggi angka pernikahan dini yang terjadi, sebagian besar dikarenakan budaya untuk menikahkan anak yang sudah cukup umur menurut budaya disana, karena disana apabila remaja usia 20 tahun belum menikah dianggap tidak laku.

Banyak orang tua yang ketika memberi keputusan kepada anaknya untuk menikah, tidak memikirkan dampak bagi sang anak di masa yang akan datang. Faktor ekonomi seringkali dijadikan alasan oleh masyarakat saat anaknya dinikahkan sebagai penebus utang atau dengan menikahkan anak dengan orang yang lebih kaya juga diharapkan dapat memperbaiki keadaan ekonomi. Di beberapa tempat, banyak anak perempuan dinikahkan demi mendapatkan mas kawin yang akan digunakan keluarga untuk berbagai keperluan. Hal ini terjadi karena adanya budaya ‘panai’ atau mas kawin yang dibayarkan pihak laki – laki apabila ingin meminang perempuan sesuai dengan permintaan pihak perempuan, sehingga bisa berkembang pernyataan bahwa anak perempuan bisa diibaratkan barang yang nantinya akan bernilai ketika hendak dinikahi orang. Kemudian alasan keadaan ekonomi yang tidak cukup untuk menghidupi sang anak sering disuguhkan oleh orang tua yang menikahkan anaknya dibawah umur, dengan dalih menikahkan anak akan melepas beban ekonomi orang tua. Tanpa disadari bahwa orang tua sudah mengalihkan bebannya kepada anak. Jika hal ini dilakukan secara terus – menerus dapat menimbulkan suatu kebiasaan yang pada akhirnya akan berimplikasi pada pembentukan budaya ‘menikahkan anak’[7] Rendahnya pemahaman orang tua akan hak anak menjadi penyebab pernikahan anak sering terjadi. Rendahnya tingkat pendidikan yang diperoleh orang tua dan anak merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap terjadinya perkawinan di usia dini, khususnya bagi masyarakat yang berada di daerah dan sulit mendapat edukasi mengenai hal ini. Semua ini bergantung terhadap bagaimana cara pikir dan sikap masyarakat terhadap perkawinan anak. Pernikahan anak dapat dicegah apabila orang tua dari anak mempunyai wawasan yang luas sehingga paham akan resiko dari pernikahan dini.

Perkawinan anak merupakan salah satu penyebab dari tingginya angka perceraian di masyarakat. Hal ini dikarenakan anak – anak cenderung belum matang secara fisik, mental, dan spiritual untuk dapat bertanggung jawab dan mengambil keputusan yang diperlukan dalam mempertahankan hubungan perkawinan. Banyak masyarakat di masa sekarang pun sudah sadar bahwa perkawinan anak juga seringkali memaksa anak putus sekolah dan menjadi pengangguran, sehingga tidak heran bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia mengalami penurunan. Jika dilihat secara fisik, anak perempuan masih sangat riskan untuk berhubungan badan, mengandung, dan melahirkan. Dikatakan demikian karena ketidaksiapan fungsi-fungsi reproduksi ibu secara biologis dan psikologis. Anak perempuan berusia 10 – 14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20 – 24 tahun.[8] Beberapa masyarakat juga telah memahami betul bahwa menikahkan anak di bawah umur sangat tidak dianjurkan. Saat ini sudah banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak dari sekolah dasar hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Peningkatan angka kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak diharapkan dapat membantu menurunkan angka perkawinan anak di bawah umur. Banyak dari anggota masyarakat berpendapat bahwa perkawinan memang perlu, tetapi akan dilaksanakan ketika umur dari seorang individu telah dikatakan matang, siap secara psikologis dan emosinya, serta memiliki pekerjaan yang mampu menopang hidupnya.

PANDANGAN PEMERINTAH

Pemerintah telah membuat peraturan mengenai perlindungan anak. Batas minimal bagi seorang perempuan untuk dapat menikah dalam undang-undang perkawinan adalah berumur 16 tahun dan laki-laki berumur 19 tahun. Namun, dalam kacamata DPR, pasal-pasal lain dalam UU yang cukup terkait untuk mencegah perkawinan anak juga perlu untuk dibaca dan diperhatikan yaitu Pasal 6 ayat (2) “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.”, Pasal 7 ayat (1) “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” dan ayat (2) “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.[9] Berdasarkan sudut pandang DPR, UU Perkawinan telah cukup memberikan perlindungan kepada anak khususnya anak perempuan yaitu upaya pencegahan perkawianan usia dini atau perkawinan di bawah umur.[10] Pemerintah menganggap Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang pada intinya mengatur mengenai batas minimum usia pernikahan, sebagai kesepakatan nasional yang merupakan kebijakan (open legal policy) pembentuk undang-undang. Sebab, dalam hukum agama maupun hukum adat tidak menyebut batas usia minimum seseorang diperbolehkan untuk menikah. Hal tersebut disampaikan oleh Plt Dirjen Peraturan Perundangan-undangan Mualimin Abdi dalam sidang lanjutan pengujian UU Perkawinan. Beliau memaparkan bahwa dalam hukum Islam persyaratan umum yang lazim ialah ketika seseorang sudah aqil baligh. Namun, jika dilihat secara adat terdapat perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya mengenai batas umur seseorang dapat menikah. Misalnya, ketika seorang perempuan yang sudah berusia 14 tahun, telah aqil baligh, dan telah dianggap siap, akan diperbolehkan untuk menikah, hal ini berlaku di Jawa Barat. Sementara di Jawa Tengah, perempuan yang sudah berusia 20 tahun dan apabila belum menikah dapat dianggap “perawan tua”.[11]

Berdasarkan fakta, batas usia yang rendah bagi seorang wanita untuk dapat menikah mengakibatkan tingkat kelahiran yang lebih tinggi, karena secara biologis tingkat kesuburan bagi wanita yang berusia muda dapat dikatakan cukup tinggi. Atas dasar itu, maka dibentuklah UU Perkawinan guna untuk menentukan batas usia seorang pria dan wanita dapat menikah. Pembatasan ini pada hakikatnya untuk mencegah perkawinan pada usia anak dan guna turut menunjang keberhasilan program nasional Keluarga Berencana. Melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) dan Kementerian Agama, pemerintah berencana untuk menaikkan batas usia minimum seseorang untuk dapat menikah. Hal ini dilakukan dengan cara merevisi Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Rencananya kenaikan batas usia pernikahan berada pada kisaran tiga sampai empat tahun, 20 tahun untuk anak perempuan dan 22 tahun untuk anak laki – laki.[12] Kerja sama yang baik antara Kementerian PPPA dan Kementerian Agama perlu dibina untuk tidak memberikan izin dengan mudah terhadap pernikahan anak dibawah umur. Jika perlu, adanya sanksi yang mendidik bisa diberikan agar tujuan untuk menurunkan angka pernikahan anak dapat tercapai. Dengan rencana tersebut, pemerintah tentu berharap, bahwa kedepannya angka atau tingkat dari pernikahan anak usia dini di Indonesia dapat menurun, sehingga segala program yang dijalankan oleh pemerintah baik itu mengenai penerapan keluarga berencana atau dalam peningkatan mutu kualitas SDM melalui peraturan usia wajib belajar, diharapkan kedepannya dapat meningkatkan kualitas dari SDM di Indonesia, dan apabila program diatas dapat berjalan dengan baik, maka tingkat pengangguran di Indonesia pun dapat ikut menurun.

KESIMPULAN

Perkawinan usia anak di Indonesia ibarat gunung es yang terlihat kecil dipermukaan tetapi pada kenyataannya masih banyak yang tidak terlihat. Kurangnya pemberitaan yang mengekspos fenomena tersebut menjadikan banyak pihak belum benar – benar tahu bagaimana perkawinan anak berdampak pada lingkungan. Tetapi bisa juga karena hal tersebut sudah dianggap wajar sehingga tidak ada masyarakat atau pihak yang mengetahui mempermasalahkan hal tersebut. Tidak akan ada yang menyangka bahwa permasalahan terkait perkawinan usia anak ternyata mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Hingga akhirnya Indonesia menduduki urutan ke-7 di dunia dan ke-2 di Asia Tenggara dengan tingkat perkawinan usia anak yang tinggi. Sungguh merupakan fakta yang mengejutkan. Namun dibalik fakta – fakta tersebut, sang anak sendiri banyak mendapatkan pengaruh dari adanya perkawinan. Anak banyak mendapatkan pengaruh dari sisi psikologis, kesehatan, sosial, dan ekonomi. Begitu banyaknya hal yang harus di pikirkan oleh sang anak yang seharusnya anak seusia mereka sedang bermain maupun menempuh pendidikan guna mencapai cita-cita yang mereka inginkan. Bagi mereka cita – cita hanyalah sekedar cita – cita, mimpi hanyalah sekedar mimpi. Tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan selain berusaha untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga kecil mereka. Hal itu sebagai akibat yang diperoleh anak yang melakukan pernikahan dini, sehingga perlu adanya pembinaan agar pernikahan yang sudah terjadi dapat berjalan dengan baik, serta perlu adanya edukasi kepada anak – anak yang lain untuk mencegah pernikahan dini dengan menunjukkan gambaran dampak dan resiko apa saja yang akan dihadapi apabila melakukan pernikahan dini. Maka dari itu, sebagai bentuk kepedulian kami Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana merekomendasikan saran dalam menanggapi isu perkawinan usia anak berupa pengambilan sikap:

  1. Diharapkan kepada pemerintah untuk meninjau  ulang Undang-Undang perkawinan mengenai batasan usia minimal wanita yang diizinkan untuk melaksanakan sebuah perkawinan.
  2. Diharapkan masyarakat khususnya orang tua dari sang anak untuk menguatkan peran mereka dalam menjaga anak agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas guna menanggulangi adanya kehamilan anak yang menjurus terhadap perkawinan usia anak.
  3. Mahasiswa selaku generasi penerus bangsa dapat mengedukasi mahasiswa dan masyarakat lainnya mengenai pengaruh buruk dari perkawinan usia anak untuk anak dan juga kelangsungan bangsa Indonesia.

Untuk Mendownload Kajian bisa klik link di bawah ini:

KAJIAN “PERKAWINAN USIA ANAK”

Referensi:

[1] Admin. “4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK: Angka Kemiskinan Turun 1,14%”. (Terdapat pada: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/10/20/4-tahun-pemerintahan-jokowi-jk-angka-kemiskinan-turun-114. Diakses pada: 04-02-2019)

[2] SH, Soedharmono. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. (Terdapat pada: https://kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf. Diakses pada: 04-02-2019)

[3] Kesowo, Bambang. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”. (Terdapat pada: https://pih.kemlu.go.id/files/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK.pdf. Diakses pada: 04-02-2019)

[4] Anonim. “Perkawinan Anak di Indonesia Tahun 2017”. (Terdapat pada: http://www.koalisiperempuan.or.id/wp-content/uploads/2017/12/Lampiran-I-rilis-perkawinan-anak-18-des-17-2.pdf, Diakses pada: 08-02-2019)

[5]Kumparan. “Pernikahan Anak, Masalah Global yang Perlu Dapat Perhatian Masyarakat”. (Terdapat pada: https://kumparan.com/@kumparanstyle/pernikahan-anak-masalah-global-yang-perlu-dapat-perhatian-masyarakat-1542971662322186779?ref=register, Diakses pada: 19-07-2019)

[6] Yulaika Ramadhani. “Anak-anak di Pedesaan Rentan Menikah pada Usia Dini”. (Terdapat pada: https://tirto.id/anak-anak-di-pedesaan-rentan-menikah-pada-usia-dini-cro3, Diakses pada: 05-02-2019)

[7] Rima Trisnayanti. “Indonesia (Masih) Darurat Perkawinan Anak”. (Terdapat pada: https://news.detik.com/kolom/4044812/indonesia-masih-darurat-perkawinan-anak, Diakses pada: 05-02-2019)

[8] Rizkina Aliya. “5 alasan mengapa perkawinan anak harus dilarang”. (Terdapat pada: http://theconversation.com/5-alasan-mengapa-perkawinan-anak-harus-dilarang-107817, Diakses pada: 05-02-2019)

[9] Undang-undang. “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN”. (Terdapat pada: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm, Diakses pada: 05-02-2019)

[10] Andi Saputra. “DPR: UU Perkawinan Sudah Cukup Cegah Pernikahan Anak”. (Terdapat pada: https://news.detik.com/berita/3973467/dpr-uu-perkawinan-sudah-cukup-cegah-pernikahan-anak, Diakses pada: 05-02-2019)

[11]  ASH. “Batas Usia Kawin Cegah Pernikahan Dini”. (Terdapat pada: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt536ced2eafaf5/batas-usia-kawin-cegah-pernikahan-dini, Diakses pada: 05-02-2019)

[12] Andylala Waluyo. “Pemerintah Lakukan Sosialisasi dan Edukasi Bahaya Perkawinan Dini”. (Terdapat pada: https://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-lakukan-sosialisasi-dan-edukasi-bahaya-perkawinan-dini/4414461.html, Diakses pada: 05-02-2019)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *