WhatsApp Image 2022-04-28 at 20.35.51

Dinamika Permasalahan Ketenagakerjaan di Indonesia, Kapan Usainya?

Dinamika Permasalahan Ketenagakerjaan di Indonesia, Kapan Usainya?

Oleh: Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia jumlah penduduk Indonesia pada sensus penduduk tahun 2020, berjumlah sebanyak 270,20 juta jiwa. Dibarengi dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,25 persen poin per tahun, dalam kurun waktu tahun 2010-2020. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk ini memengaruhi tingkat pengangguran di Indonesia yang masih tinggi. Tingkat pengangguran yang masih tinggi ini menjadikan tingkat kesejahteraan masyarakat juga menurun. Tenaga kerja Indonesia rata-rata masih bekerja dengan upah yang tergolong rendah. Para pekerja atau buruh sebagai pihak yang lemah sering kali mendapatkan ketidakadilan oleh pihak yang kuat. Walaupun pekerja telah mengerahkan tenaganya untuk bekerja, namun pengusaha tidak memberikan imbalan yang setimpal, kesejahteraannya masih belum dipenuhi dengan baik. Rendahnya upah terhadap tenaga kerja akan menarik investor asing, termasuk pemerintah, yang mementingkan peningkatan pendapatan pemerintah (bukan rakyat), sehingga membiarkan keadaan yang hanya mementingkan kepentingan kalangan atas dan pemerintah saja, tetapi tidak akan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja Indonesia.

 

Untuk kajian selengkapnya dapat dibaca pada link berikut:

Dinamika Permasalahan Ketenagakerjaan di Indonesia, Kapan Usainya?

WhatsApp Image 2022-04-19 at 20.12.18

THE WINNER OF KASTRAT OPEN SUBMISSION VOL. 1

ERA NEW NORMAL: REFLEKSI DAYA BELI MASYARAKAT DI TENGAH  MEROKETNYA HARGA MINYAK GORENG YANG TERANCAM LANGKA

Oleh

Ni Putu Sisca Damayanti (Universitas Udayana)

 

Lebih dari dua tahun Covid-19 bertandang dan merambat hebat  ke seluruh penjuru dunia. Aktivitas yang kerap dilakukan di zona publik secara perlahan diperbolehkan. Namun, aktivitas secara daring yang dikonstruksikan secara global sebagai pemecah permasalahan dapat dikatakan sudah menjadi kebiasaan. Penanganan perihal Covid-19 tengah dipantau untuk merekonstruksi masyarakat Indonesia memulai masa tatanan baru atau yang dikenal era new normal. Tahap beraktivitas damai dengan virus pandemic ini dipandang sebagai pilihan yang stategis mengingat akhir perang pandemic belum dipastikan. Sebagai sebuah pilihan, Tindakan bergerak menyusuri era new normal tidaklah kebas terhadap problematika terkait kesigapan Indonesia dan situasi realita. Terbebas dari belenggu fase new normal nantinya, masyarakat perlu disiapkan dan dipandu untuk melangkah ke tatanan yang sangat berbeda dari biasanya yang pada masa itu dituntut untuk menjadi lebih disiplin pada protocol Kesehatan demi kenyamanan bersama.

Di sisi lain, tumbuh persoalan yang sangat strategis meyangkut hajat hidup masyarakat yang lambat laun bisa berpotensi menjadi ranjau di awal pergeseran ke new normal. Ketidakstabilannya perekonomian, munculnya kluster-kluster pengangguran, menurunnya daya beli, serta terganggunya ketersediaan bahan kebutuhan pokok masyarakat menjadi perkara pada persoalan mendasar pengadaan barang-barang kebutuhan pokok utamanya pangan secara mudah dengan kualitas terjamin dan harga yang relative terjangkau di pasar. Ketersediaan barang kebutuhan pokok menjadi polemic serius yang harus bisa diakuisisi oleh pemerintah pada periode awal new normal. Menimbang hal ini, kinerja optimal Kementrian Perdagangan, yang bertugas dan mempunyai fungsi pokok untuk menjamin ketersediaan harga bahan pokok yang terjangkai dan berkualitas baik sanatlah diharapkan.

Di bawah ini adalah daftar nama anggota bahan pokok sembako sesuai dengan keputusan Menteri Industri dan Perdagangan no. 115/mpp/kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998, yaitu Beras dan Sagu, Jagung, Sayur sayuran dan Buah buahan, Daging(Sapi dan Ayam), Susu, Gula Pasir, Garam, Minyak Goreng, Minyak Tanah atau Gas[1]. Agar suatu masyarakat bisa dikatakan cukup sejahtera, tentu stok sembako harus mencukupi setidaknya beras, minyak goreng, dan bumbu masak wajib tersedia. Untuk harga minyak goreng terbaru dibulan ini tampaknya sedang viral mengalami kenaikan bahkan terancam mengalami kelangkaan stok  mengingat Indonesia sebagai pengekspor terbesar global minyak sawit, bahan baku utama minyak goreng. Menurut Sekretaris Jenderal Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), Hingga 4 Maret lalu, rata-rata harga minyak per liter di pasaran berada di rentang Rp 17.000 hingga Rp 18.000, dengan harga tertinggi Rp 22.000. Harga ini jauh lebih tinggi dari pada harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Kementerian perdagangan yakni dengan harga Rp 11.500/liter untuk kemasan curah, Rp 13.500/liter untuk kemasan sederhana, dan Rp 14.000/liter untuk kemasan premium. Melonjaknya harga minyak goreng di pasaran ini telah bertahan kisaran 3 hingga 4 bulan, dan belum mengalami penurunan yang signifikan. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2021 mencapai 34 juta ton, dari total produksinya yakni 46,88 juta ton. Sedangkan menurut data BPS, total kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2019 adalah 14.456.611 hektar [2]. Dengan melimpah ruahnya kebun kelapa sawit dan produksi minyak sawit tersebut, mengapa masih bisa terjadi kelangkaan minyak goreng di Indonesia? Apakah adanya penimbunam oleh kartel atau oknum bersangkutan atau adanya sangkut paut transaksi kotor tirani perekonomian?

Ada beberapa hal yang menyebabkan respon kelangkaan minyak goreng pertama seperti pernyataan di atas yaitu akibat naiknya harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) di dunia. Dilansir dari laman cnbcindonesia.com Dalam sepekan harga minyak mentah naik lebih dari 1,5%. Pemicu utama terletak pada ekspektasi produksi yang belum akan pulih. Harga minyak mentah bahkan diperkirakan bakal menyentuh US$ 100/barel [3]. Peningkatan harga minyak goreng juga mendorong inflasi untuk naik. Pemerintah bahkan sampai turun tangan untuk mengintervensi harga. Namun dengan tren harga minyak sawit global yang terus meningkat, harga minyak goreng tampaknya masih akan sulit untuk turun drastis dalam waktu dekat. Penyebab berikutnya timbul akibat alokasi minyak sawit pada program diodiesel (B30) yang dicanangkan pemerintah. B30 merupakan implementasi penyediaan solar dengan kandungan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) berbahan dasar sawit sebesar 30 persen. Sementara minyak sawit mentah (CPO) sendiri merupakan bahan baku dari produksi minyak goreng [4]. Kemudia disebabkan oleh faktor panic buying yang dilakukan oleh masyarakat, serta adanya persaingan dagang yang tidak sehat. Situasi ini disebabkan karena ketidakjelasan informasi dari tersedia atau tidaknya stok minyak goreng yang membuat warga berbondong-bondong menyerbu minyak goreng yang ironisnya tidak untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tapi untuk kebutuhan duang minggu bahkan dua bulan kedepan sebelum harganya mulai stabil. Oleh karena adanya kebijakan pemerataan harga minyak goreng, terjadi penimbunan  dan panic buying yang tidak sehat yang berakibat pada kelangkaan persediaan minyak goreng di pasar. Akibat situasi ini, daya beli masyarakat meningkat pesat pasalnya takut tidak mendapatkan bagian sehingga timbulah shock market dan adanya penimbunan. Menindaklanjuti perkara kelangkaan minyak goreng, pemerintah harus merasa terdorong untuk mempersiapkan mekanisme antisipasi kelangkaan dan merokernya harga minyak goreng di pasar.

Upaya pemerintah Indonesia untuk mengendalikan harga minyak goreng yaitu melalui Permendag No. 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi MInyak Goreng Sawit masih harus melewati hadang rintangan karena nyatanya harga minyak di pasar-pasar tradisional dan kios-kios kecil masih terpantau melonjak tinggi. Pasalnya, masih banyak stok lama yang dimiliki oleh pedagang namun tidak disertai dengan penyuluhan dan pengimbauan skema pengembalian stok yang baik dan benar. Fenomena ini tentunya berdampak terhadap situasi masyarakat terutama pedagang-pedagang kecil yang masih harus menjualnya pada harga mahal agar terhindar kerugian. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab dan tugas negara untuk selalu terjamin dan tersedianya kebutuhan akan sembako salah satunya minyak goreng. Permasalahan langkanya minyak goreng justru menjadi citra yang buruk bagi pemerintah untuk mengatur dan menjamin terpenuhinya kebutuhan warganya.

 

 

Referensi:

[1] Salmiati, “Dampak Kenaikan Harga Sembilan Bahan Pokok Terhadap Daya Beli Masyarakat Di Kecamatan Bengo Kabupaten Bone,” digilibadmin.unismuh.ac.id, 27 September 2019. [Online]. Tersedia: https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/10120-Full_Text.pdf/ [Diakses 23 Maret 2022].

[2] Maghastria Assiddiq, “Hadapi Kelangkaan Minyak Goreng: Harus Bagaimana?,” pajak, 7 Maret 2022. [Online]. Tersedia : https://www.pajak.com/komunitas/opini/hadapi-kelangkaan-minyak-goreng-harus-bagaimana/ [Diakses 23 Maret 2022].

[3] Putra, “Judul dokumen,” Harga CPO ‘Ngamuk’, Apa Kabar Harga Minyak Goreng?, 23 January 2022. [Online]. Tersedia : https://www.cnbcindonesia.com/market/20220123000306-17-309643/harga-cpo-ngamuk-apa-kabar-harga-minyak-goreng  [23 Maret 2022]

[4] Maulandy Rizky, “Minyak Goreng Langka, Dampak Program B30?,” Liputan 6, 8 Maret 2022. [Online]. Tersedia : https://www.liputan6.com/bisnis/read/4906005/minyak-goreng-langka-dampak-program-b30 [Diakses 23 Maret 2022].
Bisa juga diakses pada link berikut:

ERA NEW NORMAL: REFLEKSI DAYA BELI MASYARAKAT DI TENGAH MEROKETNYA HARGA MINYAK GORENG YANG TERANCAM LANGKA