Kastrat Release

Utang Luar Negeri: Memajukan atau Menghambat Perekonomian Indonesia?

Utang Luar Negeri: Memajukan atau Menghambat Perekonomian Indonesia?

Oleh: Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

 

Salah satu sumber pembiayaan pembangunan untuk negara berkembang, seperti Indonesia pada umumnya berasal dari utang luar negeri. Utang luar negeri memiliki peran yang signifikan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, bahkan sejak zaman penjajahan. Terhitung dari pemerintahan Orde Baru hingga saat ini, Indonesia masih memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap utang luar negeri, bahkan pada krisis ekonomi tahun 1997-1998 utang luar negeri Indonesia kian meningkat, hal ini menyebabkan Indonesia terpaksa membuat utang baru dalam jumlah yang besar dari IMF untuk membiayai pemulihan ekonomi. Utang luar negeri telah menjadi permasalahan lama bagi Indonesia, karena utang sendiri terus meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2000, Indonesia menghadapi permasalahan utang yang berbahaya dan telah melewati batas pinjaman yang dilihat dari rasio utang terhadap PDB hingga mencapai 31.77%, hal ini menandakan utang bergerak dalam batas yang terkendali, namun jumlah utang sendiri yang terus bertambah dan beban yang besar diambil dari PDB untuk pembayaran utang dari tahun ketahun yang terus meningkat. Di tahun berikutnya hingga tahun 2017, utang luar negeri Indonesia terus meningkat. Menurut data World Bank 2018, dikatakan bahwa pada tahun 2000 utang luar negeri Indonesia mencapai angka 144 Miliar US Dolar dan terus meningkat hingga 2017 mencapai 353 Miliar US Dolar. Hal ini dikarenakan Indonesia masih sangat membutuhkan bantuan dana pinjaman luar negeri untuk mendorong pembangunan di Indonesia.

 

Untuk kajian selengkapnya dapat dibaca pada link berikut:
Utang Luar Negeri: Memajukan atau Menghambat Perekonomian Indonesia?

WhatsApp Image 2022-04-28 at 20.35.51

Dinamika Permasalahan Ketenagakerjaan di Indonesia, Kapan Usainya?

Dinamika Permasalahan Ketenagakerjaan di Indonesia, Kapan Usainya?

Oleh: Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia jumlah penduduk Indonesia pada sensus penduduk tahun 2020, berjumlah sebanyak 270,20 juta jiwa. Dibarengi dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,25 persen poin per tahun, dalam kurun waktu tahun 2010-2020. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk ini memengaruhi tingkat pengangguran di Indonesia yang masih tinggi. Tingkat pengangguran yang masih tinggi ini menjadikan tingkat kesejahteraan masyarakat juga menurun. Tenaga kerja Indonesia rata-rata masih bekerja dengan upah yang tergolong rendah. Para pekerja atau buruh sebagai pihak yang lemah sering kali mendapatkan ketidakadilan oleh pihak yang kuat. Walaupun pekerja telah mengerahkan tenaganya untuk bekerja, namun pengusaha tidak memberikan imbalan yang setimpal, kesejahteraannya masih belum dipenuhi dengan baik. Rendahnya upah terhadap tenaga kerja akan menarik investor asing, termasuk pemerintah, yang mementingkan peningkatan pendapatan pemerintah (bukan rakyat), sehingga membiarkan keadaan yang hanya mementingkan kepentingan kalangan atas dan pemerintah saja, tetapi tidak akan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja Indonesia.

 

Untuk kajian selengkapnya dapat dibaca pada link berikut:

Dinamika Permasalahan Ketenagakerjaan di Indonesia, Kapan Usainya?

WhatsApp Image 2022-04-19 at 20.12.18

THE WINNER OF KASTRAT OPEN SUBMISSION VOL. 1

ERA NEW NORMAL: REFLEKSI DAYA BELI MASYARAKAT DI TENGAH  MEROKETNYA HARGA MINYAK GORENG YANG TERANCAM LANGKA

Oleh

Ni Putu Sisca Damayanti (Universitas Udayana)

 

Lebih dari dua tahun Covid-19 bertandang dan merambat hebat  ke seluruh penjuru dunia. Aktivitas yang kerap dilakukan di zona publik secara perlahan diperbolehkan. Namun, aktivitas secara daring yang dikonstruksikan secara global sebagai pemecah permasalahan dapat dikatakan sudah menjadi kebiasaan. Penanganan perihal Covid-19 tengah dipantau untuk merekonstruksi masyarakat Indonesia memulai masa tatanan baru atau yang dikenal era new normal. Tahap beraktivitas damai dengan virus pandemic ini dipandang sebagai pilihan yang stategis mengingat akhir perang pandemic belum dipastikan. Sebagai sebuah pilihan, Tindakan bergerak menyusuri era new normal tidaklah kebas terhadap problematika terkait kesigapan Indonesia dan situasi realita. Terbebas dari belenggu fase new normal nantinya, masyarakat perlu disiapkan dan dipandu untuk melangkah ke tatanan yang sangat berbeda dari biasanya yang pada masa itu dituntut untuk menjadi lebih disiplin pada protocol Kesehatan demi kenyamanan bersama.

Di sisi lain, tumbuh persoalan yang sangat strategis meyangkut hajat hidup masyarakat yang lambat laun bisa berpotensi menjadi ranjau di awal pergeseran ke new normal. Ketidakstabilannya perekonomian, munculnya kluster-kluster pengangguran, menurunnya daya beli, serta terganggunya ketersediaan bahan kebutuhan pokok masyarakat menjadi perkara pada persoalan mendasar pengadaan barang-barang kebutuhan pokok utamanya pangan secara mudah dengan kualitas terjamin dan harga yang relative terjangkau di pasar. Ketersediaan barang kebutuhan pokok menjadi polemic serius yang harus bisa diakuisisi oleh pemerintah pada periode awal new normal. Menimbang hal ini, kinerja optimal Kementrian Perdagangan, yang bertugas dan mempunyai fungsi pokok untuk menjamin ketersediaan harga bahan pokok yang terjangkai dan berkualitas baik sanatlah diharapkan.

Di bawah ini adalah daftar nama anggota bahan pokok sembako sesuai dengan keputusan Menteri Industri dan Perdagangan no. 115/mpp/kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998, yaitu Beras dan Sagu, Jagung, Sayur sayuran dan Buah buahan, Daging(Sapi dan Ayam), Susu, Gula Pasir, Garam, Minyak Goreng, Minyak Tanah atau Gas[1]. Agar suatu masyarakat bisa dikatakan cukup sejahtera, tentu stok sembako harus mencukupi setidaknya beras, minyak goreng, dan bumbu masak wajib tersedia. Untuk harga minyak goreng terbaru dibulan ini tampaknya sedang viral mengalami kenaikan bahkan terancam mengalami kelangkaan stok  mengingat Indonesia sebagai pengekspor terbesar global minyak sawit, bahan baku utama minyak goreng. Menurut Sekretaris Jenderal Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), Hingga 4 Maret lalu, rata-rata harga minyak per liter di pasaran berada di rentang Rp 17.000 hingga Rp 18.000, dengan harga tertinggi Rp 22.000. Harga ini jauh lebih tinggi dari pada harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Kementerian perdagangan yakni dengan harga Rp 11.500/liter untuk kemasan curah, Rp 13.500/liter untuk kemasan sederhana, dan Rp 14.000/liter untuk kemasan premium. Melonjaknya harga minyak goreng di pasaran ini telah bertahan kisaran 3 hingga 4 bulan, dan belum mengalami penurunan yang signifikan. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2021 mencapai 34 juta ton, dari total produksinya yakni 46,88 juta ton. Sedangkan menurut data BPS, total kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2019 adalah 14.456.611 hektar [2]. Dengan melimpah ruahnya kebun kelapa sawit dan produksi minyak sawit tersebut, mengapa masih bisa terjadi kelangkaan minyak goreng di Indonesia? Apakah adanya penimbunam oleh kartel atau oknum bersangkutan atau adanya sangkut paut transaksi kotor tirani perekonomian?

Ada beberapa hal yang menyebabkan respon kelangkaan minyak goreng pertama seperti pernyataan di atas yaitu akibat naiknya harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) di dunia. Dilansir dari laman cnbcindonesia.com Dalam sepekan harga minyak mentah naik lebih dari 1,5%. Pemicu utama terletak pada ekspektasi produksi yang belum akan pulih. Harga minyak mentah bahkan diperkirakan bakal menyentuh US$ 100/barel [3]. Peningkatan harga minyak goreng juga mendorong inflasi untuk naik. Pemerintah bahkan sampai turun tangan untuk mengintervensi harga. Namun dengan tren harga minyak sawit global yang terus meningkat, harga minyak goreng tampaknya masih akan sulit untuk turun drastis dalam waktu dekat. Penyebab berikutnya timbul akibat alokasi minyak sawit pada program diodiesel (B30) yang dicanangkan pemerintah. B30 merupakan implementasi penyediaan solar dengan kandungan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) berbahan dasar sawit sebesar 30 persen. Sementara minyak sawit mentah (CPO) sendiri merupakan bahan baku dari produksi minyak goreng [4]. Kemudia disebabkan oleh faktor panic buying yang dilakukan oleh masyarakat, serta adanya persaingan dagang yang tidak sehat. Situasi ini disebabkan karena ketidakjelasan informasi dari tersedia atau tidaknya stok minyak goreng yang membuat warga berbondong-bondong menyerbu minyak goreng yang ironisnya tidak untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tapi untuk kebutuhan duang minggu bahkan dua bulan kedepan sebelum harganya mulai stabil. Oleh karena adanya kebijakan pemerataan harga minyak goreng, terjadi penimbunan  dan panic buying yang tidak sehat yang berakibat pada kelangkaan persediaan minyak goreng di pasar. Akibat situasi ini, daya beli masyarakat meningkat pesat pasalnya takut tidak mendapatkan bagian sehingga timbulah shock market dan adanya penimbunan. Menindaklanjuti perkara kelangkaan minyak goreng, pemerintah harus merasa terdorong untuk mempersiapkan mekanisme antisipasi kelangkaan dan merokernya harga minyak goreng di pasar.

Upaya pemerintah Indonesia untuk mengendalikan harga minyak goreng yaitu melalui Permendag No. 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi MInyak Goreng Sawit masih harus melewati hadang rintangan karena nyatanya harga minyak di pasar-pasar tradisional dan kios-kios kecil masih terpantau melonjak tinggi. Pasalnya, masih banyak stok lama yang dimiliki oleh pedagang namun tidak disertai dengan penyuluhan dan pengimbauan skema pengembalian stok yang baik dan benar. Fenomena ini tentunya berdampak terhadap situasi masyarakat terutama pedagang-pedagang kecil yang masih harus menjualnya pada harga mahal agar terhindar kerugian. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab dan tugas negara untuk selalu terjamin dan tersedianya kebutuhan akan sembako salah satunya minyak goreng. Permasalahan langkanya minyak goreng justru menjadi citra yang buruk bagi pemerintah untuk mengatur dan menjamin terpenuhinya kebutuhan warganya.

 

 

Referensi:

[1] Salmiati, “Dampak Kenaikan Harga Sembilan Bahan Pokok Terhadap Daya Beli Masyarakat Di Kecamatan Bengo Kabupaten Bone,” digilibadmin.unismuh.ac.id, 27 September 2019. [Online]. Tersedia: https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/10120-Full_Text.pdf/ [Diakses 23 Maret 2022].

[2] Maghastria Assiddiq, “Hadapi Kelangkaan Minyak Goreng: Harus Bagaimana?,” pajak, 7 Maret 2022. [Online]. Tersedia : https://www.pajak.com/komunitas/opini/hadapi-kelangkaan-minyak-goreng-harus-bagaimana/ [Diakses 23 Maret 2022].

[3] Putra, “Judul dokumen,” Harga CPO ‘Ngamuk’, Apa Kabar Harga Minyak Goreng?, 23 January 2022. [Online]. Tersedia : https://www.cnbcindonesia.com/market/20220123000306-17-309643/harga-cpo-ngamuk-apa-kabar-harga-minyak-goreng  [23 Maret 2022]

[4] Maulandy Rizky, “Minyak Goreng Langka, Dampak Program B30?,” Liputan 6, 8 Maret 2022. [Online]. Tersedia : https://www.liputan6.com/bisnis/read/4906005/minyak-goreng-langka-dampak-program-b30 [Diakses 23 Maret 2022].
Bisa juga diakses pada link berikut:

ERA NEW NORMAL: REFLEKSI DAYA BELI MASYARAKAT DI TENGAH MEROKETNYA HARGA MINYAK GORENG YANG TERANCAM LANGKA

S__10879053

Crisis (Current Issue Infographics): Akankah Garuda Indonesia Hilang dari Penerbangan Indonesia?

Halo Civitas Ekonomi 🙌

Diketahui telah terjadi permasalahan keuangan yang menimpa PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Permasalahan keuangan tersebut menyebabkan pemerintah mempersiapkan maskapai pengganti yang akan menggantikan Garuda Indonesia. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengatakan bahwa perseroan ini, memiliki utang mencapai Rp 70 triliun atau sekitar 4,5 miliar dolar AS.

Simak informasi selengkapnya mengenai Akankah Garuda Indonesia Hilang dari Penerbangan Indonesia.

Oleh : Bidang Kajian dan Aksi Strategis

BEM FEB UNUD 2021
#GrowingTogether #JayaEkonomi
Adaptif, Aspiratif, Inovatif

WhatsApp Image 2021-10-13 at 21.37.07

Indonesia Semakin Tua, Namun Kasus Korupsi Tak Kunjung Usai

Indonesia Semakin Tua, Namun Kasus Korupsi Tak Kunjung Usai
Oleh: Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

Tak dapat dipungkiri bahwa pembahasan mengenai korupsi telah melekat dalam sejarah bangsa ini, sejak dari lahirnya negara hingga munculnya gerakan moral yang menyerukan reformasi. Terpantau bahwa praktik korupsi yang terstruktur, sistematis, dan masif selalu ada menemani perjalanan bangsa Indonesia. Terbukti berita korupsi selalu menjadi tontonan pertama dan selalu hangat untuk diperbincangkan, karena realita menunjukkan bahwa semakin banyak pejabat publik yang terlibat akan kasus korupsi. Kejahatan yang sudah mengakar serta sulit diselesaikan pada negeri ini ialah masalah korupsi. Korupsi bukan lagi masalah sehari-hari, tetapi sudah menjadi masalah di mana-mana. Data BPS 2021 menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2021 sebesar 3,88 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian 2020 sebesar 3,84. Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi, sebaliknya nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi. Hal ini dapat memberikan cahaya baru bahwa masih ada harapan bagi bangsa ini untuk menghentikan segala bentuk upaya tindak korupsi. Sehingga ini menjadi tugas para rakyat Indonesia untuk membasmi penyakit genetik yang sudah mengakar di negeri ini.

Untuk kajian selengkapnya dapat dibaca pada link berikut:

Indonesia Semakin Tua, Namun Kasus Korupsi Tak Kunjung Usai

474278

Merosotnya Pariwisata sebagai Jantung Ekonomi Bali

Merosotnya Pariwisata sebagai Jantung Ekonomi Bali
Oleh: BEM FEB se-Bali

Semenjak diberlakukannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 11 Tahun 2020 Tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Negara Republik Indonesia, terjadi penurunan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia yang tentunya sangat berdampak terhadap Bali yang sebagian besar ekonominya berasal dari pariwisata. Hal ini terbukti karena kontraksi pertumbuhan ekonomi Bali merupakan yang terparah se-Indonesia. Berdasarkan data BPS, kontraksi pertumbuhan ekonomi Bali paling dalam berada pada triwulan III 2020 yang tercatat minus 12,32 persen yoy (Year on Year). Pada triwulan IV 2020 pertumbuhan ekonomi Bali tercatat minus 12,21 persen yoy, lebih rendah dari capaian pertumbuhan triwulanan Nasional. Terpuruknya perekonomian Bali ini pada dasarnya berakar pada ketergantungan Bali terhadap sektor pariwisata.

Untuk kajian selengkapnya dapat dibaca pada link berikut:

Merosotnya Pariwisata sebagai Jantung Ekonomi Bali

Cover Kastrat Release Mei

Menelisik Middle Income Trap yang Menghantui Perekonomian Indonesia

Menelisik Middle Income Trapang Menghantui

Perekonomian Indonesia

Oleh

Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Udayana

Pendahuluan

Indonesia diprediksi menjadi salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi dunia dalam beberapa dekade ke depan. Sekarang Indonesia berada pada level middle income dan masih dalam perjalanannya menjadi negara dengan high income.[1] Middle income trap mengacu pada suatu kondisi dimana negara-negara berpenghasilan menengah tidak mampu    mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi    yang    cukup    stabil    untuk mencapai kelompok incomeyang baru sebagai negara-negara berpenghasilan tinggi.  Sehingga terjebak dalam kelompok middle income.[2] Kondisi ini banyak terjadi pada negara yang tak mampu berpindah dari pendapatan menengah ke pendapatan tinggi. Suatu negara idealnya bergerak dari tingkat pendapatan per kapita rendah ke tingkat menengah dan akhirnya ke tingkat pendapatan per kapita tinggi.[3]

Indonesia saat ini baru saja keluar dari level lower middle income menjadi upper middle income, yang artinya Indonesia masih membutuhkan banyak waktu, sumber daya, dan berbagai kebijakan untuk bisa meningkat menuju high income nation.2 Salah satu penghambat Indonesia sulit keluar dari Middle Income Trap yaitu maraknya kasus korupsi yang kian bertambah. Tingkat korupsi merupakan salah satu faktor penting karena tingkat korupsi yang rendah akan memberikan kepastian bahwa masyarakat telah menerima apa yang seharusnya diterimanya dari berbagai program yang dilaksanakan pemerintah.

Ketika terjadi korupsi, akan terdapat dua hal yang akan menjadi terhambat, optimalisasi investasi yang masuk melalui negara, baik dari FDI (foreign direct investment) maupun keuangan. Hal ini karena jika persepsi korupsi tinggi maka dana yang masuk akan terhambat

[1] Febtiyanto, Yugo. 2016. “Analisis Faktor-Faktor Penentu Pendapatan Per Kapita Sebagai Upaya Menghindari Middle Income Trap (Studi Kasus Indonesia)”.

[2] Lumbangaol, Hotmaria Elecktawati dan Ernawati Pasaribu. 2018. “Eksistensi dan Determinan Middle Income Trap di Indonesia”

[3] Nurfajar, Ariska. 2015. “Peluang Negara Berpendapatan Menengah Terjebak Middle Income Trap Tahun 2012”.

sehingga arus investasi menjadi sedikit dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang rendah dan rencana pembangunan infrastruktur untuk menunjang ekonomi sulit terjadi sehingga akan menghambat Indonesia keluar dari middle income trap. [4]

Perbandingan GNI Indonesia dengan Beberapa Negara ASEAN dan Negara Lain yang Juga Mengalami Kenaikan Level Income

Pada tahun 2019, World Bank mengeluarkan klasifikasi mengenai pendapatan per kapita pada suatu negara. World Bank mengklasifikasikan suatu negara menjadi empat (4) kategori, yaitu:

  1. Low income, yakni negara-negara dengan pendapatan per kapita nya sebesar < US$ 1,036;
  2. Lower-middle income, yakni negara-negara dengan pendapatan per kapita nya sebesar US$ 1,036 – US$ 4,045;
  3. Upper-middle income, yakni negara-ngara dengan pendapatan per kapita nya sebesar US$ 4,046 – US$ 12,535; dan
  4. High income, yang berarti negara-negara dengan pendapatan per kapita nya sebesar ˃ US$ 12,535.

Tujuan dibentuknya klasifikasi-klasifikasi tersebut adalah agar World Bank dapat dengan mudah mengelompokan negara-negara yang ada di dunia berdasarkan pendapatan per kapitanya dengan syarat-syarat yang ada.

Pada tanggal 01 Juli 2020, berdasarkan data dari World Bank, Indonesia telah masuk ke dalam klasifikasi upper-middle income yang dimana sebelumnya Indonesia berada pada klasifikasi lower-middle income. Hal ini berdasarkan GNI (Gross National Income) per kapita Indonesia yang dimana, pada tahun 2019 sebesar US$ 3,840 dan naik pada tahun 2020 menjadi sebesar US$ 4,050. Bukan hanya Indonesia yang mengalami kenaikan, terdapat enam (6) negara lainnya yang juga mengalami kenaikan GNI (Gross National Incomes).[5]

[4] Wibowo, Tri. 2016. “Ketimpangan Pendapatan dan Middle Income Trap”. Kajian Ekonomi Keuangan Vol. 20(2)

[5] World Bank. 2020. “New World Bank Country Classification by Income Level: 2020 – 2021”. (Terdapat pada: https://blogs.worldbank.org/opendata/new-world-bank-country-classifications-income-level-2020-2021 Diakses pada 16 Mei 2021)

WhatsApp Image 2021-05-26 at 10.09.29 PM

Sumber: World Bank

Berdasarkan data mengenai kenaikan GNI (Gross National Income) per kapita Indonesia, ternyata Indonesia berada di posisi yang sangat tipis dengan data minimum GNI (Gross National Income) per kapita yang telah dibuat oleh World Bank. Hal tersebut menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara yang berada di urutan terbawah dalam klasifikasi Upper-middle income, yakni sebesar US$ 4,050.

GNI (Gross National Income) per kapita yang didapat oleh Indonesia ternyata lebih tinggi dari negara ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) berikut, yakni Filipina dengan pendapatan sebesar US$ 3,850; Vietnam dengan pendapatan sebesar US$ 2,540; dan Myanmar dengan pendapatan sebesar US$ 1,390. Namun, untuk GNI (Gross National Income) per kapita Indonesia lebih rendah dengan negara-negara tetangga yang berdekatan dengan wilayah Indonesia, yakni Thailand dengan pendapatan sebesar US$ 7,620; Brunei Darussalam dengan pendapatan sebesar US$ 32,230; dan Singapura dengan pendapatan sebesar US$ 59,590.[6]

Indonesia Terjebak dalam Status Middle Income

Kenaikan status Indonesia dari Lower Middle Income menjadi Upper Middle Income merupakan kabar yang cukup menggembirakan. Kementrian Keuangan menyatakan bahwa hal ini akan meningkatkan kepercayaan dan persepsi investor maupun mitra dagang terhadap Indonesia, serta semakin dekat dengan target negara maju 2045.[7] Namun, jika dibandingkan negara tetangga, Indonesia tergolong lamban untuk keluar dari Lower Middle Income. Menurut peneliti dari Institute of Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, dampak kenaikan status sebagai negara pendapatan menengah atas lebih negatif bagi kepentingan Indonesia. Pasalnya, Indonesia dianggap mampu membayar bunga dengan rate lebih mahal yang membuat biaya utang pemerintah lebih mahal. Sejumlah negara juga semakin memiliki alasan kuat untuk mencabut fasilitas perdagangan ke Indonesia karena status negara yang dianggap sudah lebih mampu. Misalnya AS yang menerapkan fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) yakni pembebasan tarif bea masuk yang menguntungkan produk buatan Indonesia. Indonesia bisa saja dikeluarkan dari list negara penerima fasilitas tersebut sehingga berdampak buruk bagi neraca perdagangan. Dengan naiknya status Indonesia ini dikhawatirkan Indonesia akan semakin terjebak dalam perangkap negara pendapatan menengah.[8]

Dilihat dari perkembangannya, pendapatan per kapita Indonesia menunjukan peningkatan empat kali lipat periode tahun 1976-2015 (World Bank, 2016). Inilah yang

[6] Liputan 6. 2020. “Bank Dunia: Indonesia Urutan Terbawah di Daftar Negara Kelas Menengah Atas”. (Terdapat pada: https://www.liputan6.com/global/read/4296764/bank-dunia-indonesia-urutan-terbawah-di-daftar-negara-kelas-menengah-atas Diakses pada 16 Mei 2021)

[7] Kementrian Keuangan Republik Indonesia. 2020. “Di Tengah Pandemi, Indonesia Naik Peringkat menjadi Upper Middle Income Country” (Terdapat pada: Di Tengah Pandemi, Indonesia Naik Peringkat menjadi Upper Middle Income Country (kemenkeu.go.id) Diakses pada 16 Mei 2021)

[8] Tirto.Id. 2020. “Untung Rugi Indonesia Naik Kelas Jadi Negara Upper Middle Income” (Terdapat pada: Untung Rugi Indonesia Naik Kelas Jadi Negara Upper Middle Income – Tirto.ID Diakses pada 16 Mei 2021)

membuat Indonesia mampu menaikan statusnya yang negara berpendapatan rendah (Low Income Country) ke negara pendapatan menengah bawah (Lower Middle Income Country). Lantas, pada pertengahan 2020 silam Bank Dunia menaikkan status Indonesia menjadi negara pendapatan menengah atas (Upper Middle Income Country). Kenaikan status Indonesia tersebut merupakan bukti ketahanan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Namun, jika di ulas kembali berdasarkan klasifikasi Bank Dunia, Indonesia telah masuk dalam kelompok negara pendapatan menengah ke bawah selama 23 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pendapatan di Indonesia tidak stabil sehingga berisiko menempatkan Indonesia pada perangkap pendapatan menengah (Middle Income Trap).

Pertumbuhan Indonesia sangat menjanjikan, namun ada beberapa faktor yang bisa membuat Indonesia terjebak dalam status middle income ini. Kondisi Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita Indonesia yang awalnya meningkat tajam dan pada tahun berikutnya menunjukan pertumbuhan yang konstan bahkan menurun mengindikasikan Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan, hal ini menjadi faktor pendukung Indonesia masuk dalam Middle Income Trap. Lalu, laju pertumbuhan pertanian, manufaktur, jasa dan pendidikan tenaga kerja juga berpengaruh signifikan. Suatu negara untuk bertransisi menuju negara maju harus melewati tahapan transformasi dari pertanian, manufaktur, dan jasa. Fakta di lapangan menunjukkan, Indonesia tidak melewati tahapan transisi di sektor manufaktur dengan baik, namun mendapatkan penguatan di sektor pertanian dan jasa. Kondisi ini kurang baik bagi perekonomian Indonesia karena sektor manufaktur lebih banyak menyerap jumlah tenaga kerja sehingga banyak penduduk Indonesia yang tidak termanfaatkan serta bonus demografi yang seharusnya menguntungkan akan bermasalah bagi pembangunan Indonesia. Hal inilah yang menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan dan terjebak dalam pendapatan menengah. Kurangnya pembangunan sistem pendidikan yang merata juga menjadi faktor pendukung. Hal ini sangat penting karena peningkatan kapasitas dan kompetensi SDM melalui pembangunan sistem pendidikan menengah dan tersier akan mencetak SDM profesional sehingga tranformasi pembangunan akan berjalan baik.[9]

[9] Lumbangaol, Hotmaria Elecktawati dan Ernawati Pasaribu. 2018. “Eksistensi dan Determinan Middle Income Trap di Indonesia”

Garis Besar Rencana Indonesia yang Keluar dari Middle Income Trap di Tahun 2045

Dari tahun 2016 hingga 2045, Indonesia telah mencapai angka pertumbuhan tahunan sebesar 5,7% dengan terus melakukan reformasi struktural, memanfaatkan deviden demografis dan kemajuan teknologi, serta meningkatkan daya saing ekonomi. Indonesia diperkirakan akan menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2036 dan menjadi negara dengan PDB terbesar kelima pada tahun 2045.

WhatsApp Image 2021-05-26 at 10.09.29 PM (1)

Sumber: Kementrian PPN / Bappenas.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif akan meningkatkan jumlah kelompok berpenghasilan menengah menjadi sekitar 70% dari populasi Indonesia pada tahun 2045. Oleh karena itu, Indonesia harus menetapkan tujuan untuk menghilangkan middle income trap pada tahun 2036. Dengan demikian, pada tahun 2045 Indonesia dapat bertransformasi dari negara berkembang menjadi negara maju.

Namun, karena pandemi Covid-19 rencana tersebut diperkirakan akan terlewat. Krisis akibat wabah telah mempengaruhi banyak sektor terutama yang bergerak di bidang transportasi, logistik, pergudangan, manufaktur dan jasa sehingga pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 akan melambat.[10] Selain itu, menurut data tren penuntutan kasus korupsi tahun 2019, kasus korupsi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan korupsi pada pengadaan telah menyebabkan negara rugi sebesar 957,3 miliar rupiah dan suap 91,5 miliar rupiah.

[10] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2019. Indonesia 2045: Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur. Jakarta.

Menurut peta distribusi departemen yang dilakukan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) pada 2018 dan 2019 korupsi di Indonesia dapat dikaitkan dengan anggaran desa, transportasi, pemerintahan, pendidikan, dan perdagangan. Bukti empiris menunjukkan bahwa korupsi akan meningkatkan inefisiensi pengeluaran pemerintah dan mengurangi potensi investasi suatu negara. Hal ini juga akan mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi dan ketidakstabilan politik, sehingga membuat situasi ini mempengaruhi kinerja pembangunan dan menggangu upaya untuk keluar dari middle income trap. [11]

[11] Komisi Pemberantasan Korupsi. 2020. “Dokumen Rencana Strategis”. (Terdapat pada: https://www.kpk.go.id/images/Renstra-2020-2024.pdf Diakses pada 17 Mei 2021)

WhatsApp Image 2021-05-26 at 10.09.30 PM

Sumber: Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2018 dan 2019 (ICW)

Dalam hal ini, upaya pencegahan korupsi menjadi penting dan pemerintah mendorong transformasi ekonomi agar dapat keluar dari middle income trap pada tahun 2035. Selain itu, praktik korupsi ternyata menghambat kecepatan investasi, pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja. Di sisi lain, adanya “UU Cipta Kerja” diharapkan dapat berperan dalam pencegahan korupsi dan percepatan upaya pemerintah dalam melakukan transformasi perekonomian nasional. Pasalnya, regulasi tersebut akan meningkatkan transparansi penataan ruang dan bidang pertanahan, mempermudah perizinan usaha, menjamin pelayanan investasi, mempermudah UMKM dalam menjalankan usaha, dan meningkatkan perlindungan hukum bagi pelaku usaha hingga penerapan dan sanksi. Oleh karena itu diharapkan Indonesia bisa lepas dari middle income trap.[12]

[12] Detik. 2021. “RI Mau Keluar dari Jebakan Ini, Please Jangan Korupsi”. (Terdapat pada: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5530621/ri-mau-keluar-dari-jebakan-ini-please-jangan-korupsi Diakses pada 17 Mei 2021)

Cara Agar Indonesia Lolos dari Middle Income Trap

Untuk keluar dari middle income trap pemerintah perlu meningkatkan ekspor dan foreign direct investment (FDI) serta melakukan strategi yang tepat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satunya yang menjadi target pemerintahan Jokowi saat ini adalah pertumbuhan ekonomi menjadi 7% yaitu dengan cara investasi, memfokuskan sektor industri dan produktivitas domestik yang akan didorong untuk peningkatan ekspor, serta pertumbuhan ekonomi seperti Gross Domestic Product (GDP), Human Development Index (HDI), Age Dependency Ratio (ADR), Inflasi, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), dan nilai tukar rupiah (Kurs) sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat suatu negara. [13]

Selain itu, pemerintah dapat mengambil berbagai alternatif solusi agar Indonesia bisa keluar dari middle income trap, yaitu dengan mengoptimalkan UMKM dengan cara memberi pendanaan rutin, peningkatan investasi, dan modifikasi produk yang sudah ada. Oleh karena itu, pelaku UMKM Indonesia dapat memodifikasi produknya untuk menarik banyak peminat dari pasar Internasional, sehingga bisa mendapatkan banyak keuntungan dan mendorong kegiatan ekspor serta memaksimalkan bonus demografi pemerintah untuk menciptakan tenaga kerja produktif yang kreatif dan inovatif. Dengan demikian, Indonesia diharapkan dapat keluar dari middle income trap sesuai target yang telah diprediksikan dan menjadi negara berpenghasilan tinggi.[14]

Kebijakan yang Diambil Pemerintah Sebagai Upaya Lepas dari Middle Income Trap

Pada saat ini kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yakni fokus pada pembangunan SDM, infrastruktur, birokrasi, regulasi dan transformasi ekonomi untuk Indonesia menjadi negara yang produktif, kompetitif, dan memiliki institusi yang sangat efesien. [15] Adapun kebijakan lain yang diterapkan oleh pemerintah antara lain penguatan kawasan industri, yang dimana memberikan insentif berupa subsidi, fasilitas perpajakan dan kredit, serta kemudahan memperoleh valuta asing bagi perusahaan pionir. Pendekatan baru ini dipercaya lebih realistis, karena tidak ada negara yang bisa lepas dari status middle income tanpa diimbangi oleh kebijakan industri yang kuat. Artinya, pemerintah Indonesia perlu

[13] Kartika, Ritma. Dkk. 2021. Analisis Makro Ekonomi Sebagai Langkah Indonesia Keluar dari Middle Income. Inspire Journal Vol.1 No. 1 Mei 2021.

[14] Sepraldi, Petrus. Dkk. 2021. UMKM Kunci Indonesia Keluar dari Middle Income Trap. Inspire Journal Vol.1 No. 1 Mei 2021.

[15] Kompas. 2020. “Menurut Sri Mulyani, Ini Cara Agar RI Lolos dari Middle Income Trap”. (Terdapat pada: https://money.kompas.com/read/2020/06/18/213200326/menurut-sri-mulyani-ini-cara-agar-ri-lolos-dari-middle-income-trap Diakses pada 15 Mei 2021).

bertindak sebagai fasilitator dalam pasar yang efektif untuk mencapai inovasi teknologi dan peningkatan industri. Pasalnya, Indonesia juga harus mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 7% atau lebih tinggi selama 20 tahun dan menjadi negara berpenghasilan tinggi dengan dukungan kebijakan industri untuk meningkatkan diversifikasi industri negara. Dengan harapan disaat kita memperingati 100 tahun kemerdekaan pada tahun 2045Indonesia sudah lepas dari middle income trap.[16]

Kesimpulan

Dengan adanya peningkatan kasus korupsi dan pandemi Covid-19 yang menghambat pertumbuhan ekonomi RI, pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai upaya untuk lepas dari middle income trap, seperti fokus pada pembangunan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, birokrasi, regulasi dan transformasi ekonomi agar Indonesia menjadi negara yang produktif, kompetitif, dan memiliki highly efficient institution. Kebijakan tersebut dilakukan sebagai optimistis Indonesia berpeluang menjadi negara maju dengan ekonomi terkuat kelima di Dunia pada tahun 2045 dan sebagai salah satu dari negara yang diperkirakan akan menjadi motor penggerak pertumbuhan Asia hingga tahun 2050. Dengan melihat adanya berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, besar harapannya agar pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat bangkit secara perlahan hingga dapat lepas dari middle income trap.

 

[16] Sony. 2020. ‘Stabilitas Ekonomi dan Politik Sangat Penting agar Kebijakan Industrialisasi di Indonesia dapat Berhasil”. (Terdapat pada: https://feb.ugm.ac.id/id/berita/3107-kebijakan-industri-dan-perannya-untuk-menghadapi-middle-income-trap Diakses pada 15 Mei 2021).

Untuk mengunduh kajian diatas, bisa diakses melalui link dibawah ini:

Menelisik Middle Income Trapang Menghantui

Perekonomian Indonesia

Daftar Pustaka

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2019. Indonesia 2045: Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur. Jakarta.

Detik. 2021. “RI Mau Keluar dari Jebakan Ini, Please Jangan Korupsi”. (Terdapat pada: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5530621/ri-mau-keluar-dari-jebakan-ini-please-jangan-korupsi Diakses pada 17 Mei 2021)

Febtiyanto, Yugo. 2016. “Analisis Faktor-Faktor Penentu Pendapatan Per Kapita Sebagai Upaya Menghindari Middle Income Trap (Studi Kasus Indonesia)”.

Kartika, Ritma. Dkk. 2021. Analisis Makro Ekonomi Sebagai Langkah Indonesia Keluar dari Middle Income. Inspire Journal Vol.1 No. 1 Mei 2021.

Kementrian Keuangan Republik Indonesia. 2020. “Di Tengah Pandemi, Indonesia Naik Peringkat menjadi Upper Middle Income Country” (Terdapat pada: Di Tengah Pandemi, Indonesia Naik Peringkat menjadi Upper Middle Income Country (kemenkeu.go.id) Diakses pada 16 Mei 2021)

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2020. “Dokumen Rencana Strategis”. (Terdapat pada: https://www.kpk.go.id/images/Renstra-2020-2024.pdf Diakses pada 17 Mei 2021)

Kompas. 2020. “Menurut Sri Mulyani, Ini Cara Agar RI Lolos dari Middle Income Trap”. (Terdapat pada: https://money.kompas.com/read/2020/06/18/213200326/menurut-sri-mulyani-ini-cara-agar-ri-lolos-dari-middle-income-trap Diakses pada 15 Mei 2021).

Liputan 6. 2020. “Bank Dunia: Indonesia Urutan Terbawah di Daftar Negara Kelas Menengah Atas”. (Terdapat pada: https://www.liputan6.com/global/read/4296764/bank-dunia-indonesia-urutan-terbawah-di-daftar-negara-kelas-menengah-atas Diakses pada 16 Mei 2021)

Lumbangaol, Hotmaria Elecktawati dan Ernawati Pasaribu. 2018. “Eksistensi dan Determinan Middle Income Trap di Indonesia”

Nurfajar, Ariska. 2015. “Peluang Negara Berpendapatan Menengah Terjebak Middle Income Trap Tahun 2012”.

Sepraldi, Petrus. Dkk. 2021. UMKM Kunci Indonesia Keluar dari Middle Income Trap. Inspire Journal Vol.1 No. 1 Mei 2021.

Sony. 2020. ‘Stabilitas Ekonomi dan Politik Sangat Penting agar Kebijakan Industrialisasi di Indonesia dapat Berhasil”. (Terdapat pada: https://feb.ugm.ac.id/id/berita/3107-kebijakan-industri-dan-perannya-untuk-menghadapi-middle-income-trap Diakses pada 15 Mei 2021).

Tirto.Id. 2020. “Untung Rugi Indonesia Naik Kelas Jadi Negara Upper Middle Income” (Terdapat pada: Untung Rugi Indonesia Naik Kelas Jadi Negara Upper Middle Income – Tirto.ID Diakses pada 16 Mei 2021)

Wibowo, Tri. 2016. “Ketimpangan Pendapatan dan Middle Income Trap”. Kajian Ekonomi Keuangan Vol. 20 (2)

World Bank. 2020. “New World Bank Country Classification by Income Level: 2020 – 2021”. (Terdapat pada: https://blogs.worldbank.org/opendata/new-world-bank-country-classifications-income-level-2020-2021 Diakses pada 16 Mei 2021)

 

S__214687752

Mengulik Tingkat Konsumsi Masyarakat Saat Ini, Kian Merosot atau Justru Meroket?

Mengulik Tingkat Konsumsi Masyarakat Saat Ini,

Kian Merosot atau Justru Meroket?

Oleh

Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Udayana

 

Pendahuluan

Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak yang besar pada ekonomi dan seluruh sektor kehidupan masyarakat. Virus yang tengah mewabah di masyarakat ini tidak hanya menyebabkan ribuan orang kehilangan nyawa, namun juga menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi. Menurunnya pertumbuhan ekonomi pada masa pandemi secara khusus disebabkan oleh daya beli masyarakat yang melemah karena pendapatannya menurun. Adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun pengurangan gaji tentunya membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam mengelola pendapatannya.

Perekonomian di suatu negara dikatakan stabil apabila terdapat keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Tentunya hal tersebut harus didukung dengan para pelaku usaha yaitu produsen dan juga masyarakat sebagai konsumennya. Sebagai konsumen, penurunan daya beli masyarakat yang terjadi pada saat pandemi Covid-19 akan memberikan dampak yang besar bagi perekonomian di suatu daerah.

Adanya kebijakan pembatasan sosial seperti PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) selama pandemi secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada turunnya tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2020 yang hanya berada di angka 2,84%, jika dibandingkan dengan angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2019 yang mencapai 4,96% (year on year). Pemberlakuan PSBB ini mendorong masyarakat menjadi lebih berhati-hati dalam mengatur keuangan, salah satunya dengan mengubah pola konsumsi ke arah barang-barang kebutuhan pokok yang meliputi makanan & minuman, serta produk kesehatan.[1]

Produk Domestik Bruto dari Sisi Pengeluaran

Berikut ini merupakan data Produk Domestik Bruto (Pengeluaran) atas dasar harga berlaku di Indonesia.

WhatsApp Image 2021-04-24 at 9.35.36 PM

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Dilihat pada tabel diatas, Produk Domestik Bruto (Pengeluaran) untuk tahun 2020 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2019. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan pada pengeluaran konsumsi rumah tangga, dan konsumsi LNPRT (Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga). Di sisi lain, terjadi pertambahan pengeluaran pada konsumsi pemerintah, mengingat pada kondisi pandemi ini pemerintah menggelontorkan berbagai insentif guna mengatasi dampak pandemi Covid-19.[1]

Perubahan Pola Perilaku Konsumen Sebelum dan Sesudah Pandemi

Sebelum pandemi Covid-19 aktivitas konsumen dalam pencarian informasi terkait tempat, barang maupun jasa yang dibutuhkan banyak dilakukan secara langsung dengan mendatangi tempat/lokasi yang dituju. Sedangkan disaat pandemi, terjadi perubahan aktivitas konsumen dalam hal pencarian informasi terkait tempat, barang maupun jasa yaitu menjadi pencarian informasi secara tidak langsung atau secara online melalui berbagai marketplace yang tersedia[2]. Menurut data BPS sebanyak 27,20% responden mengalami peningkatan aktivitas belanja online akibat pandemi Covid-19 yang tentu berpengaruh terhadap PDB negara. Aktivitas belanja online mengalami peningkatan tajam selama masa pandemi Covid-19, yang disebabkan oleh terbatasnya ruang gerak selama pandemi yang membuat banyak masyarakat yang menghabiskan waktunya di dalam rumah, dan cenderung melakukan work form home[1]. Perilaku belanja masyarakat pada masa pandemi lebih memanfaatkan platform e-commerce, yang menyebabkan transaksi akan semakin mudah karena dilakukan secara online.

E-commerce di Indonesia mengalami peningkatan 5-10 kali selama pandemi Covid-19, transaksi online harian meningkat dari 3,1 juta menjadi 4,8 juta transaksi selama pandemi, terdapat penambahan pelanggan baru e-commercesebanyak 37%. Namun kondisi pembatasan sektor transportasi menjadi hambatan dalam proses pengiriman akibat pembatasan penerbangan dan penutupan bandara.

WhatsApp Image 2021-04-24 at 9.35.56 PM

Grafik pertumbuhan e-commerce

Berdasarkan data e-Conomy SEA 2020, tahun 2020 e-commerce menyumbangkan kenaikan pendapatan bagi negara. Sektor e-commerce mengalami kenaikan pendapatan hingga 54% atau menjadi USD 32 miliar pada 2020, dari USD 21 miliar pada 2019. Kenaikan pendapatan e-commerce di Indonesia disebabkan oleh peningkatan 5 kali lipat jumlah supplier lokal yang mencoba berjualan secara online selama pandemi Covid-19. Hal itu disebabkan karena masifnya program digitalisasi UMKM yang diluncurkan pemerintahan Jokowi di masa kedaruratan kesehatan. Pertumbuhan pesat pendapatan e-commerce ditunjang oleh 

peningkatkan konsumen digital pada tahun 2020. Sebanyak 37% konsumen baru digital mulai memanfaatkan layanan e-commerce karena pandemi Covid-19. Hal ini tentunya juga akan berpengaruh bagi kenaikan pendapatan negara.[1]

Konsumen Indonesia memiliki kontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) secara khusus dalam pembelanjaan barang maupun jasa konsumsi rumah tangga. Sedangkan bagi pelaku usaha, sistem belanja daring berpeluang memperoleh keuntungan yang lebih besar karena produk yang dijual dapat menjangkau wilayah yang lebih luas hingga ke daerah yang sebelumnya belum tersentuh bagian pemasaran.[2]

Kondisi Konsumsi Indonesia

Sebagai indikator kesejahteraan, tingkat konsumsi akan menentukan kualitas pembangunan manusia yang terekam dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Konsumsi penduduk Indonesia sebagian besar merupakan konsumsi rumah tangga yang menjadi prasyarat penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat kondisi wilayah yang tersebar dengan beragam potensi sumber daya alam dan beragam kesenjangan yang terjadi antar wilayah maupun antar sektor. Peningkatkan aktivitas konsumsi dalam negeri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Peningkatan konsumsi nasional secara tidak langsung akan membuat industri ekonomi dalam negeri akan tumbuh dengan baik.[3]

Untuk mengetahui dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi rumah tangga, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Ekonomi telah melakukan survei yang menunjukkan bahwa ketidakstabilan kondisi perekonomian akibat pandemi Covid-19 semakin dirasakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya rumah tangga. Konsumsi rumah tangga, sebagai penopang utama perekonomian melambat secara signifikan, dimana pada akhirnya dapat mempengaruhi kinerja industri dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Rumah tangga Indonesia terdampak dari dua sisi secara bersamaan yaitu kontraksi pendapatan dan keterbatasan ruang konsumsi. Kontraksi pendapatan terjadi karena adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pengurangan gaji, dan penurunan laba 

usaha. Sementara keterbatasan ruang konsumsi diantaranya karena adanya pembatasan mobilitas masyarakat. Hal ini juga sangat mempengaruhi kondisi konsumsi di Indonesia karena banyak masyarakat yang menahan laju pengeluaran rumah tangganya akibat pendapatan keluarga menurun atau bahkan karena kehilangan pekerjaan karena efek pandemi Covid-19. BPS mencatat ada 2,56 juta penduduk usia kerja menjadi pengangguran serta 1,77 juta penduduk bekerja namun untuk sementara tidak bekerja akibat Covid-19. Tertahannya laju pengeluaran rumah tangga menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi pada komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PK-RT) tahun 2020 terkontraksi sebesar 2,63% dibandingkan 2019 (c-to-c). Padahal komponen PK-RT merupakan penyumbang terbesar PDB menurut pengeluaran atas dasar harga berlaku tahun 2020 sebesar 57,66%.[1]

Jika kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sisi konsumsi saat pandemi Covid-19 tahun 2020 ini dibandingkan dengan saat terjadinya krisis moneter 1998, yaitu pada krisis 1998 nilai rupiah mengalami depresiasi sehingga harga barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal, akibatnya masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Selain itu, harga-harga barang kebutuhan pokok antara lain beras, kedelai, gandum, sayuram, buah-buahan dan jasa transportasi maupun produk-produk industri meningkat drastis sehingga mengakibatkan merosotnya daya beli masyarakat dan jumlah konsumsi masyarakat.[2] Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat persamaan pada saat pandemi Covid-19 dan krisis moneter 1998 yaitu daya beli masyarakat yang mengalami kemerosotan.

Namun jika dibandingkan dengan Krisis Subprime Mortgage AS (Krisis finansial global) pada tahun 2007-2009, maka terdapat perbedaan yakni kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat pandemi Covid-19 mengalami kontraksi dan daya beli masyarakat menurun, berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat krisis tahun 2009 yang masih tumbuh positif (4,6%). Hal ini dikarenakan kontribusi perekonomian Indonesia saat itu masih didominasi oleh konsumsi yang menyumbang lebih dari 50% PDB. Pertumbuhan ekonomi Indonesia ini didukung oleh konsumsi yang porsinya mencapai sekitar 57%, konsumsi pemerintah sekitar 8%, investasi sekitar 24%, dan net ekspor sekitar 10%. Dengan demikian, krisis keuangan 2007-2009 ini dampaknya terhadap perekonomian Indonesia relatif kecil.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mendorong kegiatan ekonomi saat krisis tahun 2007-2009 adalah penurunan tarif pajak pendapatan, kenaikan batas pendapatan tidak kena pajak, subsidi pajak, pemberian subsidi pangan dan non pangan, perluasan bantuan modal untuk UKM, Program Raskin, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).[1]Kebijakan saat krisis tahun 2007-2009 ini tidak jauh berbeda dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah saat pandemi Covid-19.

Kebijakan sebagai Langkah Pemulihan Konsumsi Indonesia di Tengah Pandemi

Pemerintah dengan segala usahanya terus mencoba untuk memulihkan laju konsumsi di Indonesia. Dalam rangka pemulihan ekonomi nasional (PEN), salah satu kebijakan yang diambil pemerintah adalah mendorong konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Konsumsi rumah tangga dilakukan oleh pemerintah dengan mengalokasikan dana sebesar Rp 203,9 triliun untuk Perlindungan Sosial. Tujuan Perlindungan Sosial tersebut adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah sekaligus mendorong konsumsi masyarakat. Perlindungan Sosial tersebut diberikan antara lain melalui Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, subsidi listrik, Program Keluarga Harapan, serta memberikan BLT BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp 600.000 untuk karyawan swasta yang mempunyai gaji Rp 5 juta/bulan ke bawah.[2]

Pemerintah juga telah mengambil pilihan kebijakan alternatif untuk mempengaruhi konsumsi rumah tangga dengan cara pemberian insentif pajak, pembebasan tarif, dan penyesuaian aturan kepada produsen dengan harapan harga-harga barang dan jasa masih dapat dijangkau daya beli masyarakat. Sehingga pelambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dapat ditekan dan dipertahankan di level risiko terendah dalam pemulihan pasca pandemi Covid-19.[3] Berbagai upaya ini diharapkan bisa memberikan jalan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat yang sangat berperan bagi pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi.

Walaupun tidak terlalu signifikan hasilnya namun perlahan demi perlahan membuat konsumsi masyarakat kian pulih.

Memasuki 2021, kinerja pertumbuhan ekonomi nasional mampu kembali tumbuh positif di kisaran 4,5% tetapi masih tergolong rendah. Program pemulihan ekonomi pun tetap berjalan namun membutuhkan waktu yang relatif lebih panjang. Kinerja konsumsi masyarakat relatif lambat akibat daya beli masyarakat rendah walaupun didukung oleh program bantuan sosial penanganan Covid-19 yang masih berjalan. Langkah-langkah reformasi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta iklim usaha yang kondusif diekspektasi akan memberikan dukungan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi pada akhir 2021 dan tahun berikutnya.[1]

Indeks Keyakinan Konsumen

            Indeks Keyakinan Konsumen atau Consumen Confidence Index (CCI) merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur perekonomian, khususnya terkait tingkat konsumsi dan perekonomian jangka pendek. Tren kepercayaan konsumen yang meningkat mengindikasikan perbaikan pola pembelian konsumen. Semakin seorang konsumen merasa yakin tentang kondisi ekonomi, semakin ia berniat untuk melakukan pembelian. Secara umum, kepercayaan konsumen yang lebih tinggi menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang mencerminkan konsumsi yang lebih tinggi. Sementara kepercayaan konsumen yang lebih rendah menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dimana pengeluaran konsumen cenderung menurun.[2]

Perbaikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi tertahan pada Januari 2021. Hal tersebut tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Januari 2021 sebesar 84,9%, lebih rendah dibandingkan dengan capaian pada Desember 2020 sebesar 96,5%. Perbaikan keyakinan konsumen yang tertahan pada Januari 2021 disebabkan oleh menurunnya ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi pada 6 bulan yang akan datang. Perkembangan tersebut disebabkan oleh perkiraan terhadap ekspansi kegiatan usaha, ketersediaan lapangan kerja, dan penghasilan ke depan yang tidak sekuat pada bulan sebelumnya. Meskipun demikian, ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan tetap terjaga dan berada pada level optimis, indeks keyakinan konsumen lebih besar dari 100 (Indeks di atas 100 berarti berada pada area optimis dan di bawah 100 berarti berada pada area pesimis). Ekspektasi konsumen yang masih optimis ini diharapkan akan membaik kedepannya sehingga mendukung perbaikan keyakinan konsumen. Perbaikan keyakinan konsumen yang tertahan pada Januari 2021 terjadi pada seluruh kategori tingkat pengeluaran dan mayoritas kelompok usia.[1]

Pada Februari 2021, Bank Indonesia mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi membaik. Hal tersebut tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Februari 2021 sebesar 85,8%, sedikit meningkat dari 84,9% pada Januari 2021. Keyakinan konsumen terpantau menguat pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp 1-3 juta per bulan. Keyakinan konsumen yang membaik pada Februari 2021 didorong oleh persepsi terhadap kondisi ekonomi saat ini, baik dari aspek ketersediaan lapangan kerja, penghasilan, maupun ketepatan waktu pembelian barang tahan lama.[2]

Pada Maret 2021, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sebesar 93,4% meningkat dibandingkan bulan Februari dan Januari 2021. Perkembangan program vaksinasi nasional yang berjalan lancar mendorong perbaikan keyakinan terhadap kondisi ekonomi saat ini maupun ekspektasi ke depan. Perbaikan keyakinan konsumen tercatat pada seluruh kategori tingkat pengeluaran, serta pada seluruh kelompok pendidikan.[3] Meski di tahun 2020 daya beli masyarakat mengalami penurunan, namun pada awal tahun 2021 kepercayaan masyarakat terhadap ekonomi mengalami peningkatan yang salah satunya akibat dari adanya program vaksinasi, hal ini pun ditunjukkan oleh indeks keyakinan konsumen yang meningkat dari Januari-Maret 2021. Meningkatnya kepercayaan masyarakat melalui indeks keyakinan konsumen pada awal tahun 2021 ini diharapkan mampu mendorong daya beli masyarakat sehingga ekonomi dapat pulih secara perlahan.

Kesimpulan

Pada masa pandemi ini, Produk Domestik Bruto dari sisi pengeluaran untuk tahun 2020 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2019. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan pada pengeluaran khususnya konsumsi rumah tangga, dan konsumsi LNPRT

(Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga). Peningkatan pengeluaran terjadi pada konsumsi pemerintah, mengingat pada kondisi pandemi ini pemerintah menggelontorkan berbagai insentif guna mengatasi dampak pandemi Covid-19.

Daya konsumsi masyarakat di tengah pandemi ini mengalami penurunan yang drastis. Mereka sebisa mungkin untuk mengurangi pengeluaran yang ada. Biasanya sebelum pandemi mereka membeli banyak barang yang mungkin saja tidak diperlukan, sedangkan pada saat ini mereka harus pintar-pintar berhemat. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya masyarakat yang menganggur yang diakibatkan oleh Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Meski di tahun 2020 daya beli masyarakat mengalami penurunan, namun pada awal tahun 2021 kepercayaan masyarakat terhadap ekonomi meningkat akibat program vaksinasi yang ditunjukkan oleh peningkatan indeks keyakinan konsumen, oleh karena itu besar harapannya agar perekonomian yang ada di Indonesia lekas pulih sehingga daya konsumsi masyarakat akan terus meningkat dan dapat mengurangi pengangguran yang ada.

Untuk mengunduh kajian diatas, bisa diakses melalui link dibawah ini:

Mengulik Tingkat Konsumsi Masyarakat Saat Ini,

Kian Merosot atau Justru Meroket?

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2020. “Belanja Online Menjadi Pilihan”. (Terdapat pada: Belanja-Online—Survei-Dampak-Covid-2020-ind.png (519×733) (bps.go.id) Diakses pada 19 April 2021).

Badan Pusat Statistik. 2021. “PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Pengeluaran (Juta Rupiah)”. (Terdapat pada: https://www.bps.go.id/site/resultTab Diakses pada 14 April 2021).

Bank Indonesia. 2021. “Survei Konsumen Januari 2021: Perbaikan Keyakinan Konsumen Tertahan”. (Terdapat pada: https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan/Documents/SK-Januari-2021.pdf. Diakses pada 5 April 2021)

Bank Indonesia. 2021. “Survei Konsumen Februari 2021: Keyakinan Konsumen Membaik”. (Terdapat pada: https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news. Diakses pada 5 April 2021)

Bank Indonesia. 2021. “Survei Konsumen Maret 2021: Perbaikan Keyakinan Konsumen Berlanjut”. (terdapat pada: https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news-release/Pages/sp_239121.aspx Diakses 19 April 2021).

Barsamian, David. 2009. “Menembus Batas (Beyond Boundaries)”. Semarang: PT Aneka Ilmu, hlm. 215.

Cholilawati dan Dewi Suliyanthini. 2021. “Perubahan Perilaku Konsumen Selama Pandemi Covid-19”.  Jurnal Pendidikan.

E-Conomy Sea 2020. “5th edition of e-Conomy SEA by Google, Temasek, Bain Southeast Asia’s Internet economy research program”. Terdapat pada: eConomy_SEA_2020_Report.pdf (storage.googleapis.com) Diakses pada 19 April 2021).

Hanantijo, GM Djoko. 2014. “Konsumsi Nasional Sebagai Penggerak Laju Pertumbuhan Ekonomi Nasional”. Vol 6 (14).

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2012. “Kajian Pola Krisis Ekonomi”. (Terdapat pada:https://fiskal.kemenkeu.go.id/data/document/2013/kajian/pkem/Pola%20Krisis%20Ekonomi.pdf Diakses pada 19 April 2021).

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2020. “Mendorong Konsumsi Dalam Negeri untuk Pertumbuhan Ekonomi Nasional: Belanjar Lancar, Ekonomi Berputar”. (Terdapat pada: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13393/Mendorong-

-19 terhadap Ekonomi Rumah Tangga Indonesia”. (Terdapat pada: Konsumsi-Dalam-Negeri-untuk-Purtumbuhan-Ekonomi-Nasional-Belanja-Lancar-Ekonomi-Berputar.html Diakses pada 5 April 2021)

Kementrian Komunikasi dan Informasi. 2020. “Solusi Belanja Kebutuhan Pangan dengan Manfaatkan Belanja Daring” (Terdapat pada: https://kominfo.go.id/content/detail/26085/solusi-belanja-kebutuhan-pangan-dengan-manfaatkan-belanja-daring/0/berita Diakses pada 16 April 2021)

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2021. “Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021”. (Terdapat pada: https://fiskal.kemenkeu.go.id/data/document/kem/2021/files/kem_ppkf_2021.pdf Diakses pada 19 April 2021)

Laming, Syamsidarti. 2020. “Tren E-Commerce Pada Era Pandemi Covid-19”. Jurnal Penelitian Humano. Vol 11 (2).

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2020. “Survei Dampak Pandemi Covidhttp://lipi.go.id/siaranpress/survei-dampak-pandemi-Covid-19-terhadap-ekonomi-rumah-tangga-indonesia/22123 Diakses pada 5 April 2021)

Shayaa, Shahid., dkk. 2017. “Consumer Confidence Index Predict Behavioral Intention to Purchase”.  The European Proceedings of Social & Behavioural Sciences.

Sekretaris Kabinet Republik Indonesia. 2020. “Membaca Kembali Perekonomian Indonesia Semester I – 2020 & Pilihan Kebijakan Pemerintah dalam Peningkatan PDB Nasional”. (Terdapat pada: https://setkab.go.id/membaca-kembali-perekonomian-indonesia-semester-i-2020-pilihan-kebijakan-pemerintah-dalam-peningkatan-pdb-nasional/ Diakses pada 19 April 2021).

kastrat times vol 1

The Winners Of Kastrat Times Vol.1

PARADOKS EKONOMI: TENDENSI KEBIJAKAN KAYA NAMA MISKIN MAKNA DI TENGAH PANDEMI

Oleh: Ni Komang Tri Anjani (EP’19)

 

Sudah setahun lebih pandemi Covid-19 menghantui masyarakat Indonesia. Namum, umur lama wabah ini tidak mesti dirayakan. Banyak hal yang terjejal akibat pandemi. Pemerintah ketar ketir, gonta ganti, hingga modifikasi kebijakan guna pengurangan korban dan antisipasi dampak Covid-19. Namun, nyatanya kebijakan tersebut kadang membingungkan dan menjadi polemik di masyarakat. Hal ini membuat pelaksanaannya dipandang kurang efektif. Banyak hal yang tidak dapat pemerintah kendalikan, baik dari segi regulasi dan kedisiplinan masyarakat Indonesia sendiri.

Langkah awal yang telah dilakukan sebagai bentuk antisipasi adalah pembatasan sosial yang mengundang pro dan kontra dari masyarakat. Masyarakat yang pro berpendapat kebijakan ini perlu dilakukan lantaran pasien Covid-19 semakin hari tidak menunjukkan penurunan yang signifikan. Dilain sisi, masyarakat tidak setuju karena mereka berfikir kebijakan ini berdampak pada ekonomi mereka. Kebijakan pemerintah yang kompleks dan cukup membingungkan bertendensi pada perekonomian yang berparadoks. Naik turunnya ekonomi dan situasi yang kontradiktif dengan regulasi pemerintah, menjadi perhatian dan pertanyaan tersendiri bagi masyarakat. Apakah harus mengikuti aturan pemerintah, atau tetap memprioritaskan tuntutan menyambung hidup karena desakan ekonomi di tengah pandemi.

Pembatasan Sosial Hanya Pada Padat Penduduk

Pembatasan sosial yang telah dilakukan dari bulan maret 2020 hingga maret tahun 2021 dipandang tidak efektif dalam pengentasan pasien virus corona ini. Walaupun istilahnya berubah-ubah seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Transisi, dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), intinya tetap sama yaitu membatasi pergerakan masyarakat. Pembatasan sosial yang menggenjot beberapa wilayah padat penduduk, tidak dapat menjamin dapat mengurangi klaster korban Covid-19. Pada masa PSBB, mungkin dapat mengurangi persebaran virus di tempat kebijakan itu berjalan. Namun, ketika pemerintah ingin melonggarkan kebijakan itu untuk memulihkan ekonomi. Lalu, penduduk yang berada diluar daerah kebijakan memasuki daerah tersebut, hal ini akan membuat pelaksanaan kebijakan tersebut kurang optimal atau sia – sia.

Permasalahan selanjutnya yakni banyak masyarakat yang kurang mematuhi aturan pembatasan sosial, karena mereka harus tetap bekerja di luar untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Kedua permasalahan tersebut mempunyai argumen yang saling membunuh. Pemerintah yang begitu padat membatasi beberapa wilayah dengan aturannya, dilain sisi dihadapkan dengan masyarakat yang kurang disiplin atau mau tidak mau harus melanggar aturan. Sejatinya PSBB memang harus dilakukan secara menyeluruh, dan memang memiliki tendensi yang buruk pada ekonomi dalam jangka pendek. Kendatipun pemerintah melonggarkan PSBB, akan memiliki dampak yang kecil bagi perubahan daya beli masyarakat. Hal ini karena mereka masih merasa khawatir dan takut untuk berbelanja keluar rumah akibat virus yang sudah menyebar di masyarakat.

Program Kartu Prakerja Kurang Efektif

Regulasi pembatasan sosial berimplikasi pada rendahnya daya beli masyarakat akibat tertahannya konsumen. Akibatnya banyak sektor usaha yang tutup sehingga berdampak pada pemberhentian tenaga kerja, pengurangan gaji pekerja yang berimplikasi pada peningkatan pengangguran dan menurunnya pendapatan. Seperti yang kita ketahui, salah satu antisipasi yang telah dilakukan pemerintah saat ini adalah membuka program Kartu Prakerja.

Namun, teknis program tersebut dinilai kurang tepat dan bukan prioritas dari antisipasi wabah Covid-19. Dilansir dari detiknews.com, Wakil Ketua Komisi V DPRD, Jabar Abdul Hadi Wijaya menilai pelatihan tersebut harus dimodifikasi atau bila perlu dicoret sementara. Menurutnya, saat ini pengangguran atau tunakarya, baik yang terdampak Covid-19 atau tidak, berada dalam kondisi kekurangan. Ia khawatir para penerima kartu tersebut tidak dapat menerima manfaat secara maksimal. Program mengharuskan pihak yang disasarkan untuk mengikuti pelatihan kerja secara online, akan memberikan manfaat yang kurang maksimal pada pekerja terdampak yang berada dalam kondisi kekurangan. Hal ini karena mereka juga harus menunjang pelatihan yang diikuti dengan berbagai fasilitas, seperti kuota termasuk device yang harus memadai. Namun, tidak menutup kemungkinan, desakan ekonomi membuat pilihan untuk menyambung hidup menjadi prioritas, daripada membeli kuota internet untuk mengakses pelatihan. Oleh sebab itu, akan lebih tepat jika anggaran pelatihan online Rp 1 juta per orang dalam program kartu prakerja dialihkan sebagai bantuan langsung.

Selain itu, pengalokasian dana pelatihan kepada pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga dinilai tidak tepat. Dilansir dari detiknews.com, Ketua Asosiasi Bussiness Development Services Indonesia (ABDSI) Korwil Jabar, Siti Nur Maftuhah, berpendapat bahwa korban PHK sudah memiliki skill dan knowledge. Jika ditelisik lebih dalam, korban PHK secara formal sudah memiliki pengalaman bekerja di Industri. Itu artinya pelatihan skill yang terlalu mendasar akan sia-sia. Pun kalau mereka ingin bekerja di industri lain, mereka harus punya dokumen yang menunjukkan bahwa pekerja tersebut berkompeten. Oleh karena itu, jika akan memberikan program pelatihan kerja, sebaiknya program dibedakan untuk pekerja yang terkena PHK dengan angkatan kerja lainnya.

Subsidi untuk Pekerja dengan Gaji Dibawah 5 Juta Kurang Tepat Sasaran

Bantuan subsidi gaji BPJS Ketenagakerjaan untuk karyawan swasta dengan gaji dibawah Rp 5 juta telah diberikan dari bulan Agustus hingga bulan September 2020. Anggaran yang disiapkan pemerintah sekitar Rp 37,7 triliun untuk pemberian bantuan langsung tunai ini dinilai kurang tepat sasaran dan kurang efektif. Dilansir dari salah satu website elektronik cnnindonesia.com, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebut terdapat penerima Bansos Langsung Tunai (BLT) yang memiliki gaji diatas Rp 5 juta dalam pencairan BLT tahap pertama. Selain itu, dilansir dari idntimes.com peneliti INDEF, Abra Talattov berpendapat bahwa seharusnya kategori penerima bantuan adalah pekerja yang bergaji dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Selain itu, bantuan tersebut juga akan lebih bermanfaat untuk mendongkrak konsumsi jika pekerja termasuk pekerja informal yang gajinya dibawah UMR dilaporkan dan didata secara komprehensif.

Peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) Perbankan di Tengah Pandemi

Selain tidak tepat sasaran, nyatanya bantuan langsung ini memiliki dampak yang kecil dalam memulihkan ekonomi. Insentif yang diberikan dengan harapan dapat meningkatkan daya beli masyarakat akibat menurunnya pendapatan di masyarakat, nyatanya hanya tersimpan di Bank. Masyarakat yang menerima insentif merasa ragu untuk membelanjakan uangnya, dan lebih memilih untuk menyimpannya sendiri maupun di bank untuk keperluan berjaga-jaga. Tidak mengherankan jika Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan meningkat. Tercatat, DPK tumbuh 12 % secara tahunan hingga akhir September 2020. Akan bagus jika dana di bank yang tinggi disalurkan ke kredit, namun nyatanya hanya berputar dari rekening pemerintah ke rekening pekerja di bank. Bukti lainnya tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih minus 4,04 pada kuartal III 2020.

Berbagai kebijakan yang diberikan pemerintah sebagai bentuk antisipasi dampak Covid-19 memang seperti pisau bermata dua, ada negatif dan positifnya. Baik dari kebijakan pembatasan sosial, kesehatan, hingga ekonomi. Tentunya perlu sinkronisasi data masyarakat yang terdampak, sehingga kebijakan yang diluncurkan tidak terkesan terburu-buru dan tepat sasaran. Hal ini tentu akan mengurangi problema program yang dicanangkan. Jangan sampai pemerintah berkilah bahwa kebijakan misalnya bansos memang mau tidak mau harus cepat dilakukan, meski ada kekurangan. Kasarnya, yang penting beri dana dulu ke masyarakat agar beban berkurang dan pemerintah tetap menjalankan tugasnya. Tentunya sebagai pembuat kebijakan harus memperhatikan secara holistik, memberikan klarifikasi yang jelas serta pemahaman secara komprehensif kepada masyarakat. Sehingga kebijakan yang dibuat tidak menjadi kebijakan yang kaya nama, namun miskin makna.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Agustina, Auriga. 2020. BLT bagi Karyawan Bergaji di Bawah Rp5 Juta Dinilai Salah Sasaran. URL :https://www.idntimes.com/business/economy/auriga-agustina-3/blt-bagi -karyawan-bergaji-di-bawah-rp5-juta-dinilai-salah-sasaran. Diakses tanggal 08 Maret 2021

Fauzie, Yuli Yanna. 2020. BLT Subsidi Gaji Salah Sasaran, Roda Ekonomi Bisa Macet. URL: https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20201110075229-532-567885/blt-subsidi-gaji-salah-sasaran-roda-ekonomi-bisa-macet. Diakses tanggal 08 Maret 2021

Maulana, Yudha. 2020. Program Kartu Prakerja untuk Korban PHK COVID-19 Dinilai Tak Efektif. URL: https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4984433/program-kartu-prakerja-untuk-korban-phk-covid-19-dinilai-tak-efektif. Diakses tanggal 08 Maret 2021

Kastrat Release Slide 1

Ekonomi RI 2020 Merosot Tajam Akibat Pandemi, Apa Kabar Ekonomi RI 2021?

Ekonomi RI 2020 Merosot Tajam Akibat Pandemi,

Apa Kabar Ekonomi RI 2021?

Oleh
Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Udayana

 

Pendahuluan

Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang besar pada perekonomi Indonesia. Permasalahan ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 dapat dilihat dari dua sudut pandang ekonomi yang berbeda, yaitu permintaan dan penawaran. Sisi permintaan, kondisi pandemi Covid-19 jelas akan mengurangi sektor konsumsi, kegiatan perjalanan dan transportasi, serta perdagangan. Sisi penawaran, kemungkinan besar yang terjadi adalah terkontraksinya produktivitas pekerja atau buruh, penurunan investasi dan kegiatan pendanaan, serta terganggunya rantai pasokan global (global value chain).[1] Kondisi ekonomi secara global di tahun 2020 jatuh seperti depresi 1930, bukan lagi seperti krisis tahun 2008 atau 1998.

Sebelumnya, ekonomi Indonesia juga sempat beberapa kali mengalami keterpurukan yaitu pada Agustus 1997 yang mana ditandai dengan terjadinya krisis nilai tukar. Nilai rupiah mengalami penurunan sangat drastis yang menyebabkan kondisi ekonomi Indonesia melemah. Nilai tukar rupiah secara simultan mendapat tekanan yang cukup berat karena besarnya capital out flow akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia. Hingga akhirnya krisis finansial di tahun 1997 tersebut membawa Indonesia ke dalam krisis moneter 1988.[2] Tekanan pada pasar modal di seluruh dunia juga pernah terjadi pada tahun 2008 yang mengakibatkan terjadinya perlambatan ekonomi secara global. Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008-2009 merupakan krisis finansial terburuk dalam 80 tahun terakhir, bahkan para ekonom dunia menyebutnya sebagai the mother of all crises. Kondisi ini ternyata semakin memburuk, meluas, dan berkepanjangan hingga dirasakan oleh berbagai negara termasuk Indonesia.[3]

Kondisi Ekonomi RI Sebelum dan Sesudah Pandemi Covid-19 (2019-2020)

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) perekonomian Indonesia tahun 2019 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto atas dasar harga berlaku mencapai Rp 15 833,9 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp 59,1 Juta atau US$4 174,9. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tahun 2019 tumbuh 5,02%, lebih rendah dari capaian tahun 2018 sebesar 5,17%. Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartanto menyatakan capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kisaran 5% terbilang cukup stabil di tengah ketidakpastian global. Pada sisi produksi pertumbuhan tertinggi dicapai Lapangan Usaha Jasa Lainnya sebesar 10,55%. Pada sisi pengeluaran pertumbuhan tertinggi dicapai oleh komponen pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (PK-LNPRT) sebesar 10,62%. Struktur ekonomi Indonesia secara spasial tahun 2019 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto, yakni sebesar 59,00%, diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21,32%, dan Pulau Kalimantan 8,05%. [4]

Tahun 2020 perekonomian Indonesia mengalami ketidakpastian dan mengarah pada resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Perekonomian Indonesia 2020 yang diukur berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp 15.434,2 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp56,9 atau US$3.911,7. Badan Pusat Statistik telah mencatat laju pertumbuhan ekonomi pada Kuartal I (Januari-Maret) 2020 hanya tumbuh 2,97%. Angka ini melambat dari 4,97% pada Kuartal IV 2019. Bahkan, pertumbuhan jauh di bawah pencapaian Kuartal I 2019 yang mencapai 5,07%. Pada Kuartal II Tahun 2020 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32%. Angka itu berbanding terbalik dengan Kuartal II Tahun 2019 sebesar 5,05%. Perekonomian Indonesia berdasarkan PDB (Produk Domestik Bruto) pada Triwulan II 2020 atas dasar harga berlaku adalah Rp 3.687,7 triliun. Tetapi atas dasar harga konstan dengan tahun dasar 2010 sebesar Rp 2.589,6 triliun. Bila dibandingkan dengan atas dasar harga konstan, maka pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II 2020 mengalami kontraksi -5,32%. Jika dibandingkan dengan Triwulan I 2020, maka kontraksi -4,19%. Kumulatifnya terhadap Kuartal I 2019, pertumbuhan mengalami kontraksi -1,26%, kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan II cukup dalam. Sedangkan ekonomi Indonesia triwulan IV-2020 dibanding triwulan III-2020 (q-to-q) mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar -0,42%.[5]

foto 1
Sumber: Badan Pusat Statistik (2021)

Berdasarkan data tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan negatif. Pada kuartal IV Tahun 2020, BPS melaporkan ekonomi Indonesia triwulan IV-2020 mengalami kontraksi sebesar -2,19% dibandingkan triwulan IV-2019. Kontraksi ini membuat ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan negatif dalam tiga kuartal beruntun. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih terjebak dalam resesi ekonomi.[6]

Perbandingan PDB RI dengan Negara Lain Sebelum dan Sesudah Pandemi

Tahun 2020 nampaknya bukan tahun yang bersahabat sebab adanya pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia tentunya memberikan dampak bagi perekonomian negara secara globa. Penyebaran virus yang cepat membuat banyak negara memberlakukan kebijakan isolasi diri hingga penguncian (lockdown) yang tentunya membuat banyak aktivitas ekonomi terhenti. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi indikator-indikator ekonomi seperti Produk Domestik Bruto yang biasanya untuk mengukur seberapa pesat pertumbuhan ekonomi di suatu negara.

Pada kuartal I-2019, ekonomi Indonesia tumbuh 5,06% yang mana berada pada peringkat ketiga di Asia Tenggara. Vietnam menjadi negara ASEAN dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi yakni tumbuh sebesar 6,76%. Filipina menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik kedua dengan catatan 5,5%. Kemudian Malaysia menduduki peringkat keempat negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi yaitu 4,7%. Ekonomi Thailand tumbuh 2,6% dan terakhir Singapura, yang berada di posisi juru kunci dengan laju pertumbuhan 0,6% pada kuartal I-2019.[7]

Setelah virus Covid-19 menyerang pada kuartal II Tahun 2020, ekonomi Indonesia terkontraksi 5,3% pada kuartal kedua bahkan pada kuartal pertama perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,97%. Negara-negara lain pun terkena dampaknya juga seperti perekonomian Malaysia tercatat terkontraksi sampai 17,1% secara tahunan pada kuartal II Tahun 2020. Selanjutnya Filipina yang terkontraksi 16,5% dan Thailand yang terkontraksi 12,2%. Perekonomian Singapura juga mengalami kontraksi yang dalam yakni 13,2% pada kuartal kedua. Adapun PDB Vietnam pada kuartal II-2020 masih mampu tumbuh sebesar 0,36%. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi sangat mempengaruhi perekonomian banyak negara.[8]

Kondisi Indeks Harga Saham Gabungan (2020-2021)

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tahun 2020 merosot tajam hingga mencapai level terendah dalam sejarah akibat Covid-19. Sejak awal tahun, indeks saham mulai mengalami penurunan sebesar 23,6%. Walaupun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat pada penutupan perdagangan sebesar 4,07% ke posisi 4.811. Berikut ini merupakan data yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK):

foto 2

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Dapat dilihat dari data yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada tahun 2021 mulai mengalami peningkatan dari level terendah. Alasan yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh level terendah, yakni dikarenakan sejak awal tahun investor asing yang mengambil kembali modal mereka dari pasar saham sebesar Rp 11,3 triliun. Dana asing yang keluar berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) lebih besar yakni Rp 129,2 triliun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator telah melakukan berbagai upaya agar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tidak jatuh maupun aliran modal keluar.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah meminta kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk membekukan sementara perdagangan (traiding halt) saham, jika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan yang tajam dalam satu hari. Bursa Efek Indonesia (BEI) akan melakukan traiding halt selama 30 menit apabila IHSG mengalami penurunan lebih dari 5%. BEI akan melakukan suspense (penghentian sementara) perdagangan apabila IHSG mengalami penurunan lanjutan hinggan lebih dari 15%.[9]

Screen Shot 2021-03-08 at 22.02.28

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Nilai Tukar Rupiah Mengalami Fluktuasi di Tahun 2020
Fluktuasi nilai tukar dianggap sebagi salah satu penyebab terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Ketidakstabilan nilai tukar dapat mempengaruhi arus modal atau investasi dan perdagangan internasional. Pergerakan nilai tukar yang fluktuatif ini mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memegang uang, selain faktor-faktor yang lain seperti tingkat suku bunga dan inflasi. Kondisi ini didukung oleh laju inflasi yang meningkat tajam dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional.[10]

Adanya pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia menjadi alasan yang paling kuat mengapa rupiah mengalami fluktasi. Tidak hanya di Indonesia saja nilai tukar mata uang mengalami penurunan, di negara Colombia Peso turun 17,6%, Rusia Ruble turun 18,5%, Mexican Peso turun 25%, dan masih banyak lagi. Kurs rupiah dipredisikan akan terus berada diposisi rentan selama penyebaran virus Covid-19.[11]

foto 3

Sumber: Bank Indonesia, 2020

Kepanikan di pasar turut meningkatkan arus fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar. Di awal tahun nilai tukar sempat menguat di level Rp13.600/USD namun setelahnya mengalami depresiasi hingga menyentuh level Rp16.600/USD per 23 Maret 2020. Memasuki pertengahan April 2020, rupiah kembali bergerak menguat. Hingga memasuki Mei, nilai tukar rupiah sempat menguat ke level Rp14.900/USD, yang menunjukkan memulihnya kepercayaan investor terhadap pasar domestik. Fluktuasi pergerakan nilai tukar dalam jangka pendek (harian) tersebut dipengaruhi oleh faktor teknikal (sentimen) positif maupun negatif. Adapun sentimen positif yang mempengaruhinya tak terlepas dari langkah pemerintah dalam penanganan Covid-19 melalui stimulus fiskal dan moneter.

Beberapa sentimen negatif yang dapat memengaruhi pergerakan nilai tukar, yaitu ketegangan hubungan antara AS dan Tiongkok. Dilihat dari faktor fundamentalnya, nilai tukar rupiah menguat di akhir tahun 2020 yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: inflasi yang rendah dan terkendali, defisit transaksi berjalan yang terjaga rendah serta tingkat imbal hasil investasi yang menarik dimana yield tenor 10 tahun hingga bulan Mei 2020 sebesar 8,02 persen. Oleh karena itu, seiring dengan membaiknya kondisi global dan berbagai upaya yang dilakukan otoritas moneter dalam menjaga fundamental nilai tukar ditengah ketidakpastian global maka diprediksikan pergerakan kurs akan lebih baik dan stabil pada tahun 2021.[12]

Proyeksi Ekonomi di Awal 2021

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2021 hanya mampu mencapai 3% saja. INDEF skeptis dengan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021, yang ditetapkan bisa mencapai 4,5% hingga 5,5%.

foto 4

Sumber : Data Badan Pusat Statistik (2020)

Tingkat konsumsi masyarakat masih belum normal akibat dari Covid-19. Diketahui, pertumbuhan konsumsi Indonesia pada Kuartal III-2020 mencapai -4%, lebih baik jika dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi pada Kuartal II-2020 yang mencapai -6%. Membaiknya sektor konsumsi tersebut, masih belum tercermin dari laju kredit perbankan. Laju kredit perbankan diprediksi hanya tumbuh 5% hingga 6% saja. Pada normalnya, kredit perbankan tumbuh 9% hingga 11%, sehingga wajar bila BI menurunkan suku bunganya menjadi 3,75% untuk mengantisipasi penurunan laju perbankan.

foto 5

Sumber: Badan Pusat Statistik 2020, Estimasi INDEF 2020

Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad, memproyeksikan di tahun 2021 inflasi akan berada di kisaran 2,5% dengan perkiraan di tahun 2020 sebesar 2,1%. Proyeksi tahun 2021 memang lebih tinggi atau meningkat dari tahun ini namun angka tersebut masih tetap rendah. Faktor pendorong proyeksi inflasi yang tetap rendah tahun 2021 disebabkan oleh berlangsungnya proses pemulihan ekonomi. Pemulihan ini akan berdampak pada daya beli masyarakat yang masih tertahan.

Tingkat kemiskinan Indonesia pada 2021 diperkirakan naik seiring dengan wabah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung saat ini. Menurut perhitungan INDEF, tingkat kemiskinan akan bertambah 10,5% di 2021. Masyarakat miskin diproyeksi bertambah sekitar 1 juta jiwa, sehingga total masyarakat miskin diperkirakan mencapai 28,37 juta jiwa.

foto 6

Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tidak cukup kuat menahan laju penurunan konsumsi masyarakat miskin dan rentan miskin. Tingkat pengangguran juga akan semakin meningkat. INDEF memprediksi, jumlah pengangguran akan bertambah 3,6 juta jiwa, menjadi 10,4 juta jiwa pada 2021 dengan persentase 7,8% dari 4,99%. Rinciannya berasal dari 2,5 juta angkatan kerja baru yang tidak terserap optimal dan 1,1 juta angkatan kerja yang masih belum terserap akibat dampak Covid-19. Adanya penambahan penganguran ini membuat angka kemiskinan naik di atas 2 digit.[13]

Harapan Perekonomian Indonesia Setelah Adanya Vaksin Covid-19

            Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menyatakan langkah vaksinasi Covid-19diharapkan mampu membuat ekonomi pulih dan kembali sehat. Tak hanya bagi ekonomi Indonesia, ekonomi global pun akan mengalami dampak yang sama. Kedatangan vaksin Covid-19 di Indonesia pada penghujung 2020 menjadi harapan memulai tahun 2021 untuk segera mengakhiri pandemi di Tanah Air. Vaksin ini menjadi asa baru bagi masyarakat untuk bisaembali bergerak normal seperti sebelum Covid-19. Pemerintah sudah mengantongi anggaran vaksinasi Covid-19gratis sebesar Rp 54,44 triliun, yang berasal dari cadangan Rp 18 triliun dan anggaran kesehatan dalam Pemulihan Ekonomi Nasional 2020 yang diperkirakan tidak dieksekusi senilai Rp 36,44 triliun. Vaksin dinilai menjadi salah satu instrumen memperbaiki perekonomian pada masa mendatang. Masuknya vaksin ke Indonesia membawa dampak psikologis yang positif awal 2021 ini.[14]

Penambahan konsumsi dari masyarakat bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dikarenakan, semakin banyak konsumsi maka ekonomi akan bergerak. Konsumsi sangat terkait dengan daya beli masyarakat. Oleh sebab itu, Pemerintah telah mengalokasi anggaran sebesar Rp 172,1 triliun untuk mendorong konsumsi/kemampuan daya beli masyarakat. Dana tersebut disalurkan melalui Bantuan Langsung Tunai, Kartu Pra Kerja, pembebasan listrik dan lain-lain. Pemerintah juga mendorong konsumsi kementerian/Lembaga/pemerintah daerah melalui percepatan realisasi APBN/APBD. Konsumsi juga diarahkan untuk produk dalam negeri sehingga memberikan multiplier effects yang signifikan.[15]

Kesimpulan

Melihat perkembangan perekonomian Indonesia yang sempat merosot tajam, bahkan mengalami resesi hingga IHSG menyentuh level terendah sepanjang sejarah, pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai langkah pemulihan ekonomi, seperti menggelontorkan penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN, menyiapkan dana hibah sebesar Rp 3,3 triliun untuk sektor pariwisata seperti hotel dan restoran, dan sebagainya. Langkah tersebut perlahan-lahan menunjukan hasil, seperti IHSG yang naik 4,66% pada sepekan pertama 2021, naik 3,5% pada penutupan perdagangan awal Februari 2021 dan rupiah yang menguat ke Rp 13.875 per dolar AS pada tanggal 16 Februari 2021. Melihat kemajuan terhadap perekonomian Indonesia di awal tahun 2021 ini, besar harapannya bahwa perekonomian Indonesia dapat bangkit secara perlahan khususnya setelah adanya vaksinasi Covid-19.

Untuk mengunduh kajian diatas, bisa diakses melalui link dibawah ini:

Ekonomi RI 2020 Merosot Tajam Akibat Pandemi,  Apa Kabar Ekonomi RI 2021?

 

 DAFTAR PUSTAKA

Antaranews. 2021. “Harapan Pemulihan Ekonomi Setelah Ada Vaksin”. (Terdapat pada: https://www.antaranews.com/berita/1923940/harapan-pemulihan-ekonomi-setelah-ada-vaksin Diakses pada 18 Februari 2021).

Badan Keahlian DPR RI. 2021. “Outlook Perekonomian Indonesia Tahun 2021: Optimisme Penguatan Fundamental Ekonomi di Tengah Ketidakpastian”.

Badan Pusat Statistik. 2020. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV-2019 No.17/02/Th. XXIV, 5 Februari 2020.

Badan Pusat Statistik. 2021. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV-2020 No. 13/02/Th. XXIV, 5 Februari 2021.

CNBC Indonesia. 2019. “Ekonomi Vietnam Terbaik di ASEAN 6, RI Nomor Berapa?”.
(Terdapat pada: https://www.cnbcindonesia.com/news/20190819144937-4-93010/ekonomi-vietnam-terbaik-di-asean-6-ri-nomor-berapa Diakses pada 27 Februari 2021).

CNBC Indonesia. 2020. “Dihantam Corona, Ekonomi Negara Mana di ASEAN Paling Tangguh?” (Terdapat pada: https://www.cnbcindonesia.com/market/20200821141920-17-181140/dihantam-corona-ekonomi-negara-mana-di-asean-paling-tangguh Diakses pada 27 Februari 2021).

DJKN Kemenkeu. 2020. “Strategi Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)”. (Terdapat pada: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13287/Strategi-Kebijakan-Pemulihan-Ekonomi-Nasional.htmlDiakses pada 27 Februari 2021).

Haryanto. 2020. “Dampak Covid-19 terhadap Pergerakan Nilai Tukar Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)”. The Indonesian Journal of Development Planning Vol. IV (2).

Institute For Development of Economics and Finance-INDEF. 2021. “Proyeksi Ekonomi Indonesia dan Arah Kebijakan Fiskal Tahun 2021”.

Kurnia, Anggyatika Mahda dan Didit Purnomo. 2009. “Fluktuasi Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat Pada Periode Tahun 1997.I – 2004.IV”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10 (2).

Otoritas Jasa Keuangan. 2021. “Statistik Mingguan Pasar Modal 2021”.

Sugema, Iman. 2012. “Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya pada Perekonomian Indonesia”. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Vol. 17 (3): 145-152

Wuryandani, Dewi. 2020. “Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2020 dan Solusinya”. Vol. XII, No.15/I/Puslit/Agustus/2020.

 

[1] Wuryandani, Dewi. 2020. “Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2020 dan Solusinya”. Vol. XII, No.15/I/Puslit/Agustus/2020.

[2] Kurnia, Anggyatika Mahda dan Didit Purnomo. 2009. “Fluktuasi Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika

Serikat Pada Periode Tahun 1997.I – 2004.IV”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10 (2).

[3] Sugema, Iman. 2012. “Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya pada Perekonomian Indonesia”. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Vol. 17 (3): 145-152

[4] Badan Pusat Statistik. 2020. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV-2019 No.17/02/Th. XXIV, 5 Februari 2020.

[5] Wuryandani, Dewi. 2020. “Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2020 dan Solusinya”. Vol. XII, No.15/I/Puslit/Agustus/2020.

[6] Badan Pusat Statistik. 2021. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV-2020 No. 13/02/Th. XXIV, 5 Februari 2021.

[7] CNBC Indonesia. 2019. “Ekonomi Vietnam Terbaik di ASEAN 6, RI Nomor Berapa?” (Terdapat pada:

https://www.cnbcindonesia.com/news/20190819144937-4-93010/ekonomi-vietnam-terbaik-di-asean-6-ri-nomor-berapa Diakses pada 27 Februari 2021).

[8] CNBC Indonesia. 2020. “Dihantam Corona, Ekonomi Negara Mana di ASEAN Paling Tangguh?”. (Terdapat Pada: https://www.cnbcindonesia.com/market/20200821141920-17-181140/dihantam-corona-ekonomi-negara-mana-di-asean-paling-tangguh Diakses pada 27 Februari 2021)

[9] Otoritas Jasa Keuangan. 2021. “Statistik Mingguan Pasar Modal 2021”.

[10] Kurnia, Anggyatika Mahda dan Didit Purnomo. 2009. “Fluktuasi Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika

Serikat Pada Periode Tahun 1997.I – 2004.IV”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10 (2).

[11] Haryanto. 2020. “Dampak Covid-19 terhadap Pergerakan Nilai Tukar Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)”. The Indonesian Journal of Development Planning Vol. IV (2).

[12] Badan Keahlian DPR RI. 2021. “Outlook Perekonomian Indonesia Tahun 2021: Optimisme Penguatan Fundamental Ekonomi di Tengah Ketidakpastian”.

[13] Institute For Development of Economics and Finance-INDEF. 2021. “Proyeksi Ekonomi Indonesia dan Arah Kebijakan Fiskal Tahun 2021”.

[14] Antaranews. 2021. “Harapan Pemulihan Ekonomi Setelah Ada Vaksin”. (Terdapat pada: https://www.antaranews.com/berita/1923940/harapan-pemulihan-ekonomi-setelah-ada-vaksin Diakses pada 18 Februari 2021).

[15] DJKN Kemenkeu. 2020. “Strategi Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)” (Terdapat pada: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13287/Strategi-Kebijakan-Pemulihan-Ekonomi-Nasional.html Diakses pada 27 Februari 2021).